Translate

Rabu, 16 November 2016

Hiburan atau Apatis?

Edaran disdik Sumenep memobilisasi siswa libur sekolah dan menyaksikan acara media, lalu, apa isi kepalamu tentang hal ini? Media, apa yang terlintas di benak kita? Media besar masuk Sumenep? Media memegang kendali penting pada proses pendewasaan pola pikir masyarakat. Media merupakan suatu organisasi yang terstruktur, menjadi agen penyedia informasi untuk masyarakat. Namun, dewasa ini, media telah memonopoli kehidupan kita. Apalagi media-media sekuler yang marak di Indonesia. Bahkan Disdik Kabupaten Sumenep mengeluarkan Edaran untuk meliburkan satu hari siswa SMP-SMA untuk media. Media saat ini banyak disetir oleh orang-orang berkepentingan. Dulu, media murni diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat, lambat laun media menjadi sesuatu yang dapat dimiliki oleh perorangan. Bagaimana dengan saat ini? Media saat ini sebagai senjata untuk mengumpulkan keuntungan bagi beberapa orang saja, tidak mementingkan kebutuhan atau kepentingan publik, maka sebentar lagi publik lah yang hanya akan diterpa oleh media tanpa bisa membatasi kontennya. Media sangat berpengaruh besar pada kehidupan, contohnya saat perang dunia ke-II, betapa hebatnya pesan propaganda melalui media. Bagaimanakah media di Madura? Lihat saja apa yang terjadi saat ini, masyarakat Sumenep sangat antusias menyaksikan sebuah acara hiburan yang diadakan oleh SCTV (12/11/2016). Konser tersebut menghadirkan banyak bintang-bintang ternama. Membahas konser, pastilah yang terlintas di pikiran kita adalah Hiburan. Saya cukup heran dan sedikit terkejut, mengapa acara musik Inbox — yang terbilang minim nilai moral maupun akademik — tersebut bisa dengan mudahnya diterima di kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Karena, pada kacamata banyak orang, kabupaten Sumenep Madura sangat kental sekali keislaman dan budayanya. Acara tersebut diterima disana dengan cukup mudah, acara tersebut berlangsung mulai 12 sampai 13 November 2016. Selama dua hari, masyarakat Sumenep akan mengonsumsi acara hiburan seperti itu. Bahkan, di beberapa sekolah dengan mudahnya meliburkan siswa-siswanya khusus untuk menyaksikan acara ini. Bagaimana sikap pemuda-pemuda kita menanggapi hal ini? Mereka hedon dan apatis. Yang mereka tahu hanyalah biar seneng saja.
Media-media sekuler terus membanjiri kehidupan masyarakat kita dengan 1001 jenis hiburan dan kesenangan, supaya masyarakat tidak tahu hal apa dibalik itu semua, masyarakat tidak mengerti kenyataan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak mengerti praktik kolonialisme yang sedang melanda daerahnya. Sumenep sedang dieksploitasi oleh media. Melalui media-media demikian sejatinya mereka ingin merusak mental masyarakat, membuat tumpul nalarnya, membuat mati spiritualnya, sehingga apa yang terjadi berikutnya? Masyarakat hanyalah manusia-manusia lumpuh yang tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka berfikir semua ini baik-baik saja, tidak ada masalah. Saya ingin mengutip salah satu kalimat dari dosen Perencanaan Produksi Media Elektronik dan Penulisan Artikel Populer, Surokim, S.Sos, M.Sos, “Kita harus menjaga jarak, menarik diri, agar kita mengetahui bagaimana suatu keadaan itu dalam pandangan yang lebih luas, lebih masiv, tidak sepotong-potong saja. Jika kita menjaga jarak, maka hal apapun itu kita akan dengan mudah menemukan permasalahan dan kritik.”.
Hal konyol terkait fenomena hiburan yang diadakan LIVE di Stadion Ahmad Yani Sumenep adalah mengenai tanggapan beberapa warga Sumenep sendiri. Mereka tidak merasa dirugikan, mereka hanya merasa ini sebagai hiburan, meskipun anak-anak mereka diliburkan sementara selama satu hari hanya untuk menyaksikan acara ini. Sebaliknya, beberapa orang bangga dengan diadakannya acara ini, dengan alibi Explore Sumenep, supaya Sumenep dikenal masyarakat Indonesia dalam cakupan yang luas.. bla bla bla.. pada umumnya, banyak teori media telah menjelaskan mengenai dampak media dengan perspektif dan perubahan tingkah laku audience-nya ketika berinteraksi dengan media. Dampak dari acara ini pun secara bertahap dapat memengaruhi tingkah laku masyarakat Sumenep, dan nanti pasti berujung pada budaya yang sedikit demi sedikit akan bergeser. Perubahan ini akibat informasi yang datang dari media atau dampak dari media itu sendiri. Begitu kuatnya media mendorong pola pikir masyarakat Sumenep dengan dampak yang begitu hebat seperti jarum suntik (Hypodermic). Teori jarum suntik menjelaskan bagaimana persuasi yang datang dari media memegang kendali penting dalam KAP (Kognitif, Afektif, Psikomotorik) masyarakat Sumenep. Contoh kecil yang saya amati saat acara ini berlangsung, masyarakat Sumenep sangat senang menerima hiburan, Dinas pun meluncurkan edaran untuk meliburkan siswa-siswinya selama satu hari untuk pro dengan acara Inbox SCTV tersebut. Mereka berdalih hal ini untuk penyambutan tamu, nilai tambahannya adalah Sumenep nantinya bisa dikenal oleh warga Indonesia melalui acara ini, masyarakat luas akan mengenal Sumenep dengan banjir budayanya.
Acara ini sangat berseberangan dengan Teori Proses Selektif Media, dimana pada teori tersebut dikatakan bahwa “Masyarakat melakukan suatu proses seleksi sehingga masyarakatlah yang menentukan  efek apa yang mereka ingin dapatkan dari informasi yang diberikan oleh media”. Pada fenomena ini, masyarakat hanya menerima saja, mereka tidak memilah-memilih. Intinya iya iya saja. Mau dieksploitasi, iya. Mau ditumpulkan pemikirannya, iya. Lalu? Kemanakah pemerintah kabupaten Sumenep sedang duduk manis melihat masyarakat dengan nilai agama yang cukup tinggi ditumpulkan begitu mudahnya? Individu akan melakukan proses imitasi yang mereka lihat dari media. Semakin dekat apa yang kita saksikan dengan karakter diri yang kita percayai, maka semakin dekat pula kita dengan proses imitasi tersebut. . Alhasil, ini hiburan atau eksploitasi? Dan siapa yang apatis disini? Wallohu alam bissowab.




Nur Cholifah, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura sekaligus anggota dari Divisi Teknologi Informasi Creative Computer Club Madura.

Rabu, 02 November 2016

Aku yang Selalu Rindu

Kawan, bolehkah aku jujur padamu, pada kalian?
Sejujurnya aku sangat merindukan "kita".
Kita yang dulu, aku yang begitu, kalian yang begitu.
Begitu? Iya begitu. Semangat yang berkobar-kobar.
Kawan, ingatkah kalian saat awal memasuki perkuliahan? Canggung, bahagia, semangat, rasa penasaran yang sangat tinggi, jail, tak kenal ampun. Dimanakah itu semua saat ini?
Aku rindu, sangat rindu.
Ketika kita mendapat materi, dua hingga tiga lembar kertas loose leaf penuh dengan alphabet berjajar rapi.
Ketika satu kelompok unjuk materi di depan kursi-kursi rapi milik kita, kita sangat antusias memperhatikan. Pasang kuping, bolpoin menatap buku catatan.
Dua kuping terpasang, pandangan kedepan, tangan beraksi menulis detail.
Usai itu, belasan tangan kalian terangkat dengan semangat, kepala kalian penuh dengan tanda tanya, mata kalian menyala-nyala. Bukan hanya kalian yang begitu, aku terutama.
Aku rindu semua itu.
Kawan, masih ingatkah, ketika bapak-ibu dosen selesai memaparkan materi, kalian sibuk dengan bolpoin, belasan lain sibuk berebut waktu bertanya (?) Aku sangat mengingatnya. Aku merindukan kala itu, dimana ketika aku mengajukan tanyaku, kalian sibuk berfikir, lalu menanggapi pertanyaanku, saling beradu, usai itu kita tertawa bersama, karena kita telah mengetahui isi kepala kita masing-masing.
Kawan, dulu kita bersumpah masuk bersama keluar pun bersama, betapa polosnya diri kita saat itu. Tahukah kalian, saat ini aku tertawa dalam kesendirian setiap aku mengingat tentang itu.
Kawan, kita baru setengah perjalanan, kemanakah itu semua? Ini baru setengah.
Yang kurasa dan kulihat dulu kini tak lagi sama, jelas teramat berbeda. Kalian tahu apa perbedaan kita?
Aku ingin kesini, kau kesitu, dia kesana, kita sangat berbeda. Ku akui perbedaan memang indah.
Sangat indah jika tanpa rasa benci dan rasa ingin menjatuhkan.
Sangat indah jika tanpa permusuhan dan rasa ingin menjadi pemenang.
Bangunlah! Apakah ini sebuah pertandingan?
Tidak.. ini persaingan. Persaingan dengan diri kita masing-masing.
Kalau kalian bertanya padaku apa yang aku inginkan, aku dengan tegas akan menjawab "TERUS MAJU. BERSAINGLAH DENGAN SEHAT. DAN SELALU RINDUKAN KITA YANG DULU."
Aku tak mengajak ataupun meminta kalian kembali seperti dulu atau bahkan menjadi yang dulu, aku hanya ingin kalian merasa "Rindu".
Ini tulus, dari aku, yang selalu rindu. (NC)

Selasa, 13 September 2016

tanyaku, tanpa kau beri jawabmu.

Sepi yang sangat ramai, ramai yang sangat bisu.
Tak pernah kutemui dirimu.
Pilu, hanya ada aku dan tangisku.
Ku tak tahu apa yang terjadi padamu (?)
Apakah "waktu" mengubahmu (?)
Ataukah "topeng" itu terlepas darimu (?)
Itu tanyaku, tanpa kau beri jawabmu.

#MSM #nda





Cholifah

Selasa, 02 Februari 2016

Dari titik. Bukan lagi titik, namun koma.

Kumulai bercerita dari titik. Dari titik-titik lalu menjadi garis.
Dari garis menjadi sebuah gambaran,
Gambaran itu persis seperti lukisan terindah yang terkesan lara.
Seperti jatuhnya air, dari tetes-tetes hingga menjadi cucuran.
Hidup terlalu pilu bila hanya terbiasa memandang mereka,
Yah! Mereka mereka apa yang tlah melampaui batasnya.
Ku tak lagi membicarakan siapakah mereka mereka itu.
Ku pun tak lagi membicarakan apa yang menjadi batasan itu.
Yang benar-benar ingin ku bicarakan saat ini adalah bagaimana caraku agar aku tetap bisa berjalan hingga tepat sampai pada tujuan kehidupan, kematian.
Entahlah, kini hidup sudah bukan lagi hitam dan putih, tapi sudah menjadi abu-abu.
Abu-abu pudar, terkadang pula abu-abu gelap.
Bukan mendung ataupun kabut hitam, melainkan perasaan yang sudah tak jelas apa yang tengah dirasakan.
Dikata berbahagia, tidak. Merana pun tak jua.
Awal dari segalanya ketika seseorang menancapkan belatinya.
Menusuk, menembus lapisan kulit, menancap pada daging, lalu mengoyaknya dengan seluruh kekuatan yang dikumpulkannya, semakin dalam dan semakin menyakitkan. Terlihat seperti itu.
Semua itu hanyalah awal.
Bukankah hal itu cukup manis untuk disaksikan?
Emmm.. tak pantas jika ku menggunakan tanda Tanya pada kalimat baru saja.
Seharusnya aku menggunakan tanda Titik saja.
Yah! Hal itu cukup manis untuk disaksikan. Titik. Dan jangan pernah tertulis tanda Tanya lagi. Memangnya apa yang perlu ku jawab? bukankah telah terjawab dengan jelas pada permulaan tulisan ini?
Dari titik, ku membencinya.
Dari titik, aku sangat membencinya.
Ku mengulanginya ketigakalinya, dari titik hingga titik tak berujung aku cukup sangat membencinya.
Titik tidak berseru, tidak pula bertanya. Ia mengakhiri.
“apalah yang kau ingin ‘tuk diserukan lagi? ‘tuk ditanya lagi?”, seharusnya kalimat tersebut hilang.
“Hahahaha”, tawaku memecah malam.
Tebak-lah, apa yang tengah ku bicarakan saat ini?
Terka-lah, dengan siapa ku tengah berbicara saat ini?
Secangkir kopi dalam cangkir kaca bening.
Ku berbincang dengannya, Kopi tahu bahwa tuannya ini sedang menginginkan tujuan akhir.
Tapi entahlah, kopi dalam cangkir kaca bening ini hanya mendiamkanku.
Walaupun mulutku tlah berbusa bercengkrama dengannya.
Tiupan angin malam yang lewat dicela jendela kamar menyadarkanku, gelapnya ruangan ini menemaniku, sunyi malam pun menyanyikanku syair sepi.
Dari titik, aku inginkan sendiri.
Setelah itu ia berubah menjadi garis.
Garis itu mulai mengajakku ‘tuk bercerita, ia berkata bahwa akulah yang memulainya.
Tidak! Jangan kau salahkan aku. Bukankah asap tercipta karena adanya api?
Pribahasa kuno.
Sangat terekam jelas bagaimana mulanya.
Semakin kucoba membuatnya menjadi ‘bukan apa-apa’ maka semakin akulah yang menjadi ‘apa-apa’.
Ruangan ini tidak menceritakanku apa itu hampa. Ruangan ini pun tidak membicarakan kekosongan. Tetapi raga ini sangatlah hafal dengan semua hal-hal pengisi ruang. Ini terasa hampa, kosong.
Tak perlu diceritakan lagi, sangatlah hafal.
Dari titik hingga titik tak berujung.
Berkaca pada cangkir kopiku, wajahku terlihat tak seperti dulu.
Akupun enggan melihat berlama-lama. Terasa muak melihat diriku sendiri.
Inginku menjadi kopi, walaupun terasa pahit, namun ia memberikan manis.
Banyak yang berselera kopi itu buruk, namun tak sedikit pecintanya.
Ia sederhana, tak pernah ingin menjadi apa-apa selain menenangkan pecintanya.
“apa yang kau bicarakan bodoh?”, teriakan itu datang dari keheningan.
Tak lagi bisa menangis. Tertawa jauh lebih asyik.
Nyanyian syair sepi tetap dinyanyikan sang sunyi malam.
Aku sudah memakinya untuk segera diam, namun sang sunyi malam masih melakukannya.
Ayolah! Coba sesekali mendengarkan makianku. Bukankah sangat nikmat rasanya dimaki oleh kesedihan? Biar ku ceritakan, mereka sering melakukan itu padaku,dan aku menikmatinya.
Ayolah! Sepi itu hanya sederhana, tak seburuk ini, katakan hal itu padaku agar ku mempercayainya.
Sudut ruang menjawab, “Hey! tiada yang mampu menemani dirimu yang seburuk saat ini kawan!”.
Derai air mata berjatuhan. Aaaaah! Malam ini terasa sangat panjang.
Fajar, kapan kau menyapaku? Rembulan sudah cukup menyiksaku saat ini. Bergegaslah!
Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh sudut ruang, buruk sekali.
Merontah kesakitan, entah apa yang terluka.
Jangan kau ajak aku ‘tuk membicarakan ‘mereka dan batasan’. Ku tak sanggup.
Sendiri ku bergumam, “sekarang, apa lagi?”.
Hey hey, ini tak terlalu buruk untuk memulai lagi. Memulai garis yang lainnya.
Hey hey, dari titik ini kau belajar. Ini jalan awal, jangan kau bergegas menuju tujuan akhirmu.
Hey hey, bukankah di tokoh dekat rumahmu masihlah menyediakan jutaan lembar HVS?
Ah! sudahlah. Malam yang panjang ini hanya ku habiskan bersama secangkir kopi favoritku.
Ku inginkan segelintir batang berisi racikan tembakau seperti kala itu, sepertinya itu cukup menenangkan.
Masihlah ku ingat bagaimana asap tembakau hirupanku menggambarkan laraku kala itu.
Kali ini takkan ku lakukan lagi.
Sepertinya….. sepertinya malam akan menjadi sangat panjang dan amat membosankan.
Ku tulis bait-bait ini hanya sebagai pelampiasan.
Teringat mereka berdua pergi dengan senyuman tepat di depanku, belati itu tlah berubah menjadi pedang katana. Ku lanjutkan sayatan belati itu menjadi tebasan samurai. Ini lebih baik.
Cukuplah, isi cangkir kopiku sudah hampir habis, Lalu, siapakah yang akan bersamaku melawan sepi?
Nyanyian sepi makin mengosongkan ruangan ini. Hanya terdiam, diriku dan kenangan.
Yah! Sudah, cukup. Jangan ku tambahkan lagi.
Titik-titik itu telah tertulis rapi dan tertata sejajar hingga menjadi garis-garis yang menjadi sebuah gambaran apik. Sekarang yang ku perlukan hanyalah lembaran baru.
“Nikmati dulu kopimu yang mulai mendingin itu, lalu lanjutkan dengan mengusap bersih air matamu.”, tegas rembulan yang sedari tadi menyiksaku dalam kalut.
Sang malam sudah cukup baik terhadapku untuk kali ini, ku berterimakasih padanya. Sungguh!
Ia mengajariku bahwa dari titik aku masih bisa melanjutkan, bukan lagi titik, namun koma.
Itu tanda baca yang amat kusukai sejak detik ini.