Translate

Selasa, 02 Februari 2016

Dari titik. Bukan lagi titik, namun koma.

Kumulai bercerita dari titik. Dari titik-titik lalu menjadi garis.
Dari garis menjadi sebuah gambaran,
Gambaran itu persis seperti lukisan terindah yang terkesan lara.
Seperti jatuhnya air, dari tetes-tetes hingga menjadi cucuran.
Hidup terlalu pilu bila hanya terbiasa memandang mereka,
Yah! Mereka mereka apa yang tlah melampaui batasnya.
Ku tak lagi membicarakan siapakah mereka mereka itu.
Ku pun tak lagi membicarakan apa yang menjadi batasan itu.
Yang benar-benar ingin ku bicarakan saat ini adalah bagaimana caraku agar aku tetap bisa berjalan hingga tepat sampai pada tujuan kehidupan, kematian.
Entahlah, kini hidup sudah bukan lagi hitam dan putih, tapi sudah menjadi abu-abu.
Abu-abu pudar, terkadang pula abu-abu gelap.
Bukan mendung ataupun kabut hitam, melainkan perasaan yang sudah tak jelas apa yang tengah dirasakan.
Dikata berbahagia, tidak. Merana pun tak jua.
Awal dari segalanya ketika seseorang menancapkan belatinya.
Menusuk, menembus lapisan kulit, menancap pada daging, lalu mengoyaknya dengan seluruh kekuatan yang dikumpulkannya, semakin dalam dan semakin menyakitkan. Terlihat seperti itu.
Semua itu hanyalah awal.
Bukankah hal itu cukup manis untuk disaksikan?
Emmm.. tak pantas jika ku menggunakan tanda Tanya pada kalimat baru saja.
Seharusnya aku menggunakan tanda Titik saja.
Yah! Hal itu cukup manis untuk disaksikan. Titik. Dan jangan pernah tertulis tanda Tanya lagi. Memangnya apa yang perlu ku jawab? bukankah telah terjawab dengan jelas pada permulaan tulisan ini?
Dari titik, ku membencinya.
Dari titik, aku sangat membencinya.
Ku mengulanginya ketigakalinya, dari titik hingga titik tak berujung aku cukup sangat membencinya.
Titik tidak berseru, tidak pula bertanya. Ia mengakhiri.
“apalah yang kau ingin ‘tuk diserukan lagi? ‘tuk ditanya lagi?”, seharusnya kalimat tersebut hilang.
“Hahahaha”, tawaku memecah malam.
Tebak-lah, apa yang tengah ku bicarakan saat ini?
Terka-lah, dengan siapa ku tengah berbicara saat ini?
Secangkir kopi dalam cangkir kaca bening.
Ku berbincang dengannya, Kopi tahu bahwa tuannya ini sedang menginginkan tujuan akhir.
Tapi entahlah, kopi dalam cangkir kaca bening ini hanya mendiamkanku.
Walaupun mulutku tlah berbusa bercengkrama dengannya.
Tiupan angin malam yang lewat dicela jendela kamar menyadarkanku, gelapnya ruangan ini menemaniku, sunyi malam pun menyanyikanku syair sepi.
Dari titik, aku inginkan sendiri.
Setelah itu ia berubah menjadi garis.
Garis itu mulai mengajakku ‘tuk bercerita, ia berkata bahwa akulah yang memulainya.
Tidak! Jangan kau salahkan aku. Bukankah asap tercipta karena adanya api?
Pribahasa kuno.
Sangat terekam jelas bagaimana mulanya.
Semakin kucoba membuatnya menjadi ‘bukan apa-apa’ maka semakin akulah yang menjadi ‘apa-apa’.
Ruangan ini tidak menceritakanku apa itu hampa. Ruangan ini pun tidak membicarakan kekosongan. Tetapi raga ini sangatlah hafal dengan semua hal-hal pengisi ruang. Ini terasa hampa, kosong.
Tak perlu diceritakan lagi, sangatlah hafal.
Dari titik hingga titik tak berujung.
Berkaca pada cangkir kopiku, wajahku terlihat tak seperti dulu.
Akupun enggan melihat berlama-lama. Terasa muak melihat diriku sendiri.
Inginku menjadi kopi, walaupun terasa pahit, namun ia memberikan manis.
Banyak yang berselera kopi itu buruk, namun tak sedikit pecintanya.
Ia sederhana, tak pernah ingin menjadi apa-apa selain menenangkan pecintanya.
“apa yang kau bicarakan bodoh?”, teriakan itu datang dari keheningan.
Tak lagi bisa menangis. Tertawa jauh lebih asyik.
Nyanyian syair sepi tetap dinyanyikan sang sunyi malam.
Aku sudah memakinya untuk segera diam, namun sang sunyi malam masih melakukannya.
Ayolah! Coba sesekali mendengarkan makianku. Bukankah sangat nikmat rasanya dimaki oleh kesedihan? Biar ku ceritakan, mereka sering melakukan itu padaku,dan aku menikmatinya.
Ayolah! Sepi itu hanya sederhana, tak seburuk ini, katakan hal itu padaku agar ku mempercayainya.
Sudut ruang menjawab, “Hey! tiada yang mampu menemani dirimu yang seburuk saat ini kawan!”.
Derai air mata berjatuhan. Aaaaah! Malam ini terasa sangat panjang.
Fajar, kapan kau menyapaku? Rembulan sudah cukup menyiksaku saat ini. Bergegaslah!
Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh sudut ruang, buruk sekali.
Merontah kesakitan, entah apa yang terluka.
Jangan kau ajak aku ‘tuk membicarakan ‘mereka dan batasan’. Ku tak sanggup.
Sendiri ku bergumam, “sekarang, apa lagi?”.
Hey hey, ini tak terlalu buruk untuk memulai lagi. Memulai garis yang lainnya.
Hey hey, dari titik ini kau belajar. Ini jalan awal, jangan kau bergegas menuju tujuan akhirmu.
Hey hey, bukankah di tokoh dekat rumahmu masihlah menyediakan jutaan lembar HVS?
Ah! sudahlah. Malam yang panjang ini hanya ku habiskan bersama secangkir kopi favoritku.
Ku inginkan segelintir batang berisi racikan tembakau seperti kala itu, sepertinya itu cukup menenangkan.
Masihlah ku ingat bagaimana asap tembakau hirupanku menggambarkan laraku kala itu.
Kali ini takkan ku lakukan lagi.
Sepertinya….. sepertinya malam akan menjadi sangat panjang dan amat membosankan.
Ku tulis bait-bait ini hanya sebagai pelampiasan.
Teringat mereka berdua pergi dengan senyuman tepat di depanku, belati itu tlah berubah menjadi pedang katana. Ku lanjutkan sayatan belati itu menjadi tebasan samurai. Ini lebih baik.
Cukuplah, isi cangkir kopiku sudah hampir habis, Lalu, siapakah yang akan bersamaku melawan sepi?
Nyanyian sepi makin mengosongkan ruangan ini. Hanya terdiam, diriku dan kenangan.
Yah! Sudah, cukup. Jangan ku tambahkan lagi.
Titik-titik itu telah tertulis rapi dan tertata sejajar hingga menjadi garis-garis yang menjadi sebuah gambaran apik. Sekarang yang ku perlukan hanyalah lembaran baru.
“Nikmati dulu kopimu yang mulai mendingin itu, lalu lanjutkan dengan mengusap bersih air matamu.”, tegas rembulan yang sedari tadi menyiksaku dalam kalut.
Sang malam sudah cukup baik terhadapku untuk kali ini, ku berterimakasih padanya. Sungguh!
Ia mengajariku bahwa dari titik aku masih bisa melanjutkan, bukan lagi titik, namun koma.
Itu tanda baca yang amat kusukai sejak detik ini.