Ini adalah Cerpen hasil tulisan tangan saya,
bertemakan Roman.
Ini fiksi belaka ataupun kenyataan, silahkan berpendapat di kolom komentar!
let's Read!
Tuhan,
Aku pernah mengagumi seseorang,
Namun tak dihiraukan.
Aku pernah mencintai seseorang,
Namun tak terbalaskan.
Aku pernah menyayangi seseorang,
Namun tersakiti.
Aku pernah mengorbankan hidupku,
Namun aku disia-siakan.
Dan, pada akhirnya, ku Teriakkan bahagiaku, syukurku!
"Tuhan, aku tlah menemukan satu diantara ratusan juta".
Sosok yang kucinta, yang mencintaiku pula.
"aku tlah menemukannya!"
"Lihatlah! Dia!"
"Lihatlah!"
"Yang kini Lenyap sudah!".
Tak kusadar, pipi ini telah basah.
"Bukan tangisan, mungkin hanya tetesan hujan".
Bintang menertawakanku lalu pergi begitu saja.
---------------
--------------- --------------- --------------- ---------------
Awal pertemuanku,
Senja tlah berakhir, malam pun tiba.
Kala itu, kaki ini menantinya disamping Ballroom.
Jemariku mengirim pesan singkat, ku katakan bahwa aku telah sampai.
Ku menanti, dalam hitungan menit "Jupiter-Coaster" menghampiriku.
Penuh kagum, terpesona, penasaran, dan tak hentinya dua bola mata ini menatap keelokan rupanya.
Berjabat tangan, ku menyebutnya inilah perkenalan.
Memang tak seindah bak drama Puteri Cinderella dan Pangerannya,
Namun awal itu adalah satu yang terbaik.
Tak mewah, namun "lebih bernilai daripada Istana Dewa" untukku.
Ku tapakkan kaki, menaiki "Jupiter-Coaster".
Detik itulah ku mengenal apa itu yang disebut Indahnya Kebebasan.
Sosok yang mampu membawaku keluar dari kurungan yang menyiksa dan jeratan rantai mematikan.
"Ya Tuhan, apakah Dia malaikatmu?".
Bak melarikan diri dari sanderaan penyamun, aku amat senang menghirup udara bebas.
Jeritku dalam hati, "Ibu maafkan aku, aku yang rela mencipta kata-kata dusta, yang ku lakukan hanya agar aku bisa menatap sosoknya".
Diselimuti rasa bersalah, tak henti-hentinya ku memohon maaf pada Tuhan.
Semoga Tuhan masih mengasihaniku.
"Tuhaaaaaan!", desahku.
-----
Duduk ditengah keramaian pasar malam.
Ramai, namun ku merasa cukup Tenang.
Ku tak merasakan gaduh apapun.
Tuhan, ku menikmati kala itu.
Ditemani seikat Kembang Gula dan secangkir es Coklat favorit lidahku.
Angin memulai perkenalan, bibir ini mengungkap siapa aku,
Bibir manis nan indah itu pun menyambung ceritaku, menjawab tanyaku, menemani keingintahuanku.
Dia! siapa Dia? aku mulai mengenal, mulai mengerti.
Kalau diingat, tingkah kami kala itu, ya memanglah lucu, lugu, manja, dan sedikit nakal.
Bintang dan Bulan tersenyum menyaksikan kami.
"Nampak amat indah, ya Tuhan!", hatiku berteriak.
Seiring angin yang berhembus kesana-kemari, ku sadari Dia adalah sosok yang periang, penuh semangat, dan mampu menghadirkan beribu juta tawa.
"Tuhan, he's more than Perfect!", kagumku dalam hati.
Berbincang sesaat, lalu kami melanjutkan berkeliling di pasar malam.
Kuhirup udara segar.
Ahh, ku rasa sudah lama sekali ku tak berkunjung ke ramainya pasar malam.
Bahagia, yang kurasa. tak ada lagi kata yang sanggup mengungkapnya.
Binar-binar gemerlap lampu warna-warni pasar malam, permainan Kicir udara dengan kilat warna biru, dan sinar Bintang-bintang & Bulan.
Mereka lah saksi pertemuan kami.
Dua hati yang terlukai oleh masa lalu.
Aku dengan masa laluku bersama seseorang yang memuakkan, dan Dia dengan masa lalunya bersama seseorang yang tak cukup jelas.
-----
Pertemuanku dengannya tidaklah cukup sampai disana,
Tuhan memberikan jalan yang amat indah untukku. sungguh!
Di hari-hari berikutnya pun Tuhan masih mengizinkanku untuk menatap wajah itu.
Menjerit dalam hati, "Terima kasih, Tuhan!"
-----
Ku lalui hari-hari penuh rintangan dan kesenangan bersamanya.
Mencoba lebih mengenal, siapa aku, siapa Dia.
Saling memberi semangat ketika semuanya nampak mustahil untuk dipatahkan.
Saling menopang ketika semuanya mulai mendekati kehancuran.
Saling memberi senyuman ketika semuanya mulai terasa berat 'tuk dilakukan.
Apakah kami Teman? Sahabat? atau sesuatu yang tak mampu disebut?
Ntahlah? tanyakan pada rerumputan yang bergoyang, disebelah sana. Mungkin mereka mampu menjawab.
Jika tidak, tanyakan pada air yang mengalir, disana! Mungkin ia sanggup menjawab.
-----
Tuhan,
Aku hanyalah seorang wanita yang memendam seribu duka yang seketika merasa nyaman, ketika berada di sisinya.
Aku hanyalah seorang wanita lemah yang seketika tangguh, ketika bersamanya.
Aku hanyalah seorang wanita penuh luka yang seketika menemukan secuil bahagia, ketika bersamanya.
-----
Aku tak mampu menjelaskan "Apa?".
Bertanya pada hati pun ku tak tahu.
Kurasakan hembusan angin yang memanglah berbeda.
Berbeda dari angin-angin biasanya.
-----
Tuhan,
Ku tak tahu, apa dan bagaimana.
Ku mohon pada Tuhan, berilah penjelasan.
Aku nampak amat bodoh, maafkanlah!
-----
Menit-menit yang berlalu sungguh amat berarti, ketika bersamanya.
Yang Terindah, takkan mampu diuntai kata.
Ku merasakan angin yang berbeda. sungguh!
Perlakuannya, membuatku semakin bertanya, "Apa?"
-----
Pertengahan Oktober,
'Mengikat sebuah janji untuk saling menghargai dan mengerti'
"Aku mampu! Kami Sanggup!", jeritku dalam hati.
Menetes, mengalir, membasahi pipi, "aku tak menangis, ini hanyalah tetesan Hujan!"
Tangan hangatnya menggenggam tangan ini.
Benar-benar, aku tak ingin dilepaskan.
Sungguh hangat, dan aku suka.
Kami berjalan diatas laju "Jupiter-Coaster dan melanjutkan kebahagiaan.
Angin menyemarakkan kala itu.
Bulan dan Bintang-bintang pun membenarkan bahagiaku.
Kami melaju pada hati Rapuh yang mulai berlabuh Utuh.
Memang benar yang ku sebut itu.
Rapuh, hatiku ini benar-benar rapuh, karena cerita di masa lalu.
Cerita masa lalu, kala aku dihianati seseorang yang kelak pantas mendapat Balasan dari Tuhanku.
Utuh, aku merasa Kehadirannya cukup 'tuk sembuhkan luka ku.
Aku merasa Dia tlah merangkai hatiku, hati yang benar-benar tlah terberai, Utuh kembali.
"Tuhaaaaaan, kami saling menggenggam, menguatkan, memenuhi, menjaga, memahami! lihatlah!"
"Tuhan tahu", sahut bintang padaku.
-----
Melaju diatas "Jupiter-Coaster", ku lewati menit-menit bersamanya.
Mulai merincih segala apapun yang belum ku ketahui.
Untaian kata yang menjelaskanku tiap inci dari rangkaian si Jupiter.
Aku tak mengerti secuil apapun tentang Kinerja Jupiter atau apapun sebutannya,
Disanalah letak sesuatu yang ku sebut 'Baru'.
Yaaah, bersamanya ku mulai mengenal inci per inci susunan si Jupiter.
Dengannya, aku mengetahui apa itu Mesin. meski tak banyak, aku tahu.
Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih, Sayang.
Terima kasih, Bulan, Bintang, Angin.
-----
Tuhan,
Kami terus melaju diatas "Jupiter-Coaster".
Melewati jalan-jalan yang belum pernah aku jamah.
Mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kaki ini tapakkan.
Dia! yang membawaku ke tempat-tempat indah, menghabiskan waktu bersama.
"Tuhan, ini benar-benar indah".
Aku amat bahagia bersamanya, Dia! iya, Dia! yang terindah!
belum pernah ku rasakan indahnya Cinta yng seperti ini.
"Tuhaaaaaan, Terima kasih!", jeritku.
Kedua tangan ini memeluk erat tubuhnya.
"Berikan satu ciuman! di pipi ini", pintanya.
"Aku tak mampu, belum saatnya!", jawabku dengan candaan kecil.
Kami berlanjut, tertawa bahagia bersama. menikmati indahnya malam.
"Tuhan, jangan pisahkan jiwa ini darinya!", aku memohon pada Tuhan.
Kami nikmati hembusan angin kencang yang menemani kami melaju diatas "Jupiter-Coaster".
Mengunjungi tempat-tempat indah, bersamanya!
Aku bahagia. tak ada kebahagiaan yang lebih daripada ini.
"Tuhaaaaan, Terima kasih!", beribu kali ku ucap.
-----
Suatu ketika,
Were u felt so Dissapointed with someone/something? deep inside ur Heart?
How 'bout Me? I were.
He Broke his own promise to me. He broke it just for someone/something that Really Absurd.
Namun, ku coba memaafkan. Tuhan tahu.
yang paling pertama adalah berusaha memaafkan aku dan kekecewaanku ini, lalu ku coba memaafkan Dia dan kesalahannya.
Sekilas angin berhembus tapi lantas aku berbisik dg pelan nan tegas “Aku masih sanggup bertahan!”
Tuhan! Lihatlah!
Aku mampu. aku berjuang. masih dan akan selalu.
"Tuhan, jagalah aku, dan orang-orang yang kusayang, seperti Dia!".
"Maafkanlah aku, Tuhan!"
"Maafkan aku atas kekecewaanku yang amat mendalam ini!"
"Ampuni dia yang kali ini benar-benar mengecewakanku!", ku mohon pada Tuhan.
-----
Aku masih mengingat, dan masih kuat mengingat akan satu hal,
Dulu, aku sering meminta kepada Tuhan,
"Ya Tuhan, hadirkanlah seseorang yang menyayangiku tepat On My Sweet Seventeen!".
Dan, Tuhan telah mengabulkan permintaan lama ku itu! Tuhan menghadirkannya! Dia!
Dia! duduk di hadapanku, merayakan malam Ulang Tahun-ku yang ke Tujuh Belas.
"Tuhan! terima kasih!".
Hatiku berteriak penuh haru, "Tuhan! engkau benar-benar menyayangiku!"
Dia lah jawaban dari permintaanku dulu, dulu kala aku benar-benar terpuruk dan memohon.
Keinginan 'tuk menggenggam Bulan pun tak ada artinya lagi ketika Tuhan tlah menghadirkan Dia, tepat di hadapanku.
Tak ada kado terindah selain Dia. sungguh!
Tuhan benar-benar mengasihi aku, mencukupi aku dengan segala kasih sayang-Nya. Tuhan! benar-benar ku sampaikan Terima kasih.
Lagi-lagi pipi ini basah, "Yaaah, harus kuakui kali ini aku menangis, bukan lagi tetesan hujan! tangis bahagia."
Tertawa, ku bersyukur kepada Tuhan!
Ku sebut beberapa permohonanku kepada Tuhan untuk bertambahnya usiaku.
"Ya Tuhan, jadikan Dia sebagai yang terakhir untukku!", salah satu bait dari permohonanku.
-----
Hari-hari selanjutnya pun Everything still Okay, and I Wish Everything Always Okay.
Tak ada yang Berubah, namun sedikit terasa berbeda.
"Apa?" Aku belum menemukan.
Di fikiran dan benakku memanglah mulai merasakannya,
"Tuhan, mengapa ini berbeda?", fikirku dipenuhi beribu pertanyaan.
Tak lagi seperti sebelumnya.
Sungguh!
Ku tanyakan pada angin, tak ada jawaban.
Ku tanyakan pada runtuhan ranting, ia pun tak menjawab.
Ku terdiam. bak terendam larutan formalin, ku masih bertahan pada Diamku. Ku putuskan 'tuk menyimpan, merenung, dan tetap pada kebingungan yang mendalam.
-----
Aku belum menemukan "Apa?" atas ini semua dan "Mengapa?" bisa seperti ini.
Kata-kata itu, membuatku benar-benar merasa hubungan kami berada diujung tanduk.
Aku berusaha, aku sanggup, aku mampu, Mempertahankannya!
Aku memohon pada Tuhan, "Tuhan, aku masih mampu melanjutkan!"
"Tuhan! dengarkan! aku mampu! aku sanggup! Lihatlah!".
Hembusan angin sedikit menenangkanku. aku mengarungi lautan tangis.
Indera Pencium ini masih amat mengingat aroma tubuhnya.
Wangi tubuhnya amat terekam kuat di memori. mampu menenangkan kericuhan hati.
-----
Aku memiliki seorang Sahabat, yang selalu ada untukku. Sebut saja Nugraini.
Nugraini adalah sahabatku sejak di pertengahan bangku SMP. Hingga saat ini kami masihlah menyempatkan waktu untuk sekadar mengobrol, bercerita, dan bersantai bersama.
Dia pun memiliki Teman akrab, sebut saja Dirgantara.
Mereka menghabiskan waktu bersama ketika di sekolah, di rumah, maupun di tempat lain.
Suatu saat terjadi kesalahpahaman.
Nugraini membela aku ketika Dirgantara mengungkap cerita palsu tentang aku dihadapan Nugraini.
Bukankah benar apa yang dilakukan Nugraini itu?
Seorang Sahabat memanglah harus berlaku seperti itu, membela kawan, menegakkan yang benar, dan menghapuskan yang salah, aku percaya pada Sahabatku.
Kepercayaanku Utuh pada Sahabatku. tak ada Angin sekencang apapun yang mampu meragukan kepercayaanku, bahkan badai topan pun takkan mampu.
Lidah memanglah Tajam, Dirgantara mengadu kepada Dia bahwa aku tlah membuat cerita bohong tentang Dia.
"Ya Tuhan!", aku sungguh sakit mengingat kejadian itu.
Sungguh! aku hanya difitnah oleh Teman nya itu.
Mana mungkin aku merangkai cerita sebusuk itu pada seseorang yang amat kucinta? Ya Tuhan!
Benar-benar hancur, Ya Tuhan!
Ku temui Dia, ku sampaikan pembelaanku, aku tak mau semua ini memburuk, aku tak sanggup.
Setelah ku jelaskan, Dia mampu menerima semua, memaafkanku, yaaah meski ku tak tahu apa salahku.
Ini semua hanyalah kesalahpahaman antara Sahabatku dan Teman nya, hingga aku pun harus ikut terseret di dalamnya.
Tuhan tau.
Setiap perkataan yang menjatuhkan, tak lagi ku dengar dengan sungguh-sungguh.
Juga tutur kata yang mencela, tak lagi ku cerna dalam jiwa.
Bisa ku sebut 'Badai usai sudah'
Semua tlah kembali seperti semula.
-----
Sometime,
aku tak tahu, mengapa menjadi seperti ini?
Semut-semut kecil pun tak lagi mau berlalu di depanku, mungkin mereka terlalu lelah karena sering ku bertanya.
"Ya Tuhaaaaaan, Tolonglah aku!", aku menjerit, kali ini benar-benar bak tombak menusuk jantung.
Yaaah, Tepat pada jantung, ketika aku menerima pesan singkat darinya.
Benar, terasa mati, tak sanggup lagi menghirup oksigen, padahal Tuhanku masih menyediakan banyak oksigen untukku.
Ntah? aku tak mampu mengungkap "Apa? bagaimana? mengapa?" aku tak mampu. sungguh!
"Tuhan, Tolonglah aku!".
Beribu kali ku memohon pada Tuhan.
Tanpa ku tahu salahku, tanpa ku tahu dosaku.
Usai sudah 'Ikatan sebuah janji untuk saling menghargai dan mengerti'. Tlah usai, ya Tuhan!
Tombak yang menembus jantung, Belati menyayat hati, cairan Poison mematikan yang mengalir pada darahku.
Terluka? Sakit? hmmm, "Tewas" lebih tepatnya.
-----
Keesokan hari, semuanya masih amat sangat buruk.
Ku temuinya, ku tanyakan, "Bagaimana benar? Apakah kau yakin mengatakan hal itu padaku??” Wajah bimbangnya makin terbaca olehku.
Benar-benar bukan Dia yang ku kenal.
"Bagaimana bisa seperti ini?", caciku dalam hati.
"Bagaimana bisa?", tangisku.
Jupiter-Coaster pun terhenti dibawah rindangnya pohon, ditemani angin sepoi-sepoi.
Ku mulai pembicaraan, sesaknya nafasku, beratnya beban hatiku, tangisku masihlah sanggup ku tahan.
Aku memanglah lemah, Bintang membenarkan.
Aku memanglah bodoh, Bulan menyetujui.
Aku memanglah gila, Angin mengangguk.
"Aku merasa kasihan padamu kalau semua ini masih kita lanjutkan!", ucapnya lembut.
"Bagaimana bisa begitu?", ucapku menyalak.
"Kamu terlalu baik untukku, kamu terlalu peduli dan terlalu meluangkan semua perhatianmu padaku", lanjutnya.
"Lalu?", tanyaku frustasi.
"Aku tak pernah ada waktu untukmu, aku tak bisa membalas perhatianmu, aku kasihan padamu", jelasnya lagi.
Tak sanggup berkata, aku lebih memilih diam.
"Hahh? jadi hubungan ini hanya didasarkan pada rasa kasihan?", teriakku pada angin.
Angin menjawab, "Sadarlah!".
Aku hanya terdiam, tak sanggup. "Tuhaaaaaaan!!!", jeritku dalam hati.
"Tak pernahkah kamu memberi setitik cinta untukku? jawab!", tanyaku menyalak.
"Bukan, bukan begitu!", tepisnya.
"Lalu?", tanyaku sesak.
"Jika terus begini, aku kasihan padamu", jawabnya tegas.
"Baiklah!", ku tersenyum, berusaha menahan, membendung tangis.
"Tuhaaaaaaan!", hatiku teriris.
Bulan menertawakanku. Angin memelukku. Awan hanya terdiam.
Aku berlalu.
Kami kembali, mengakhiri pertemuan itu.
Kami berada di jalan kami masing-masing.
"Kuatkan aku, Tuhan!", pintaku.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Tuhan,
Aku pernah dikagumi,
Namun hanya rekayasa.
Aku pernah dicintai,
Namun hanya dusta semata.
Aku pernah disayangi,
Namun hanya rasa kasihan semata.
Lihatlah!
Ya Tuhan, "Mengapa?".
Tuhan tak menjawabku.
Tuhan hanya menunjukkan.
"Ini! Lakukan! Nikmati!"
aku bertanya, "Ya Tuhan, Beginikah?"
Hati ini pernah benar-benar merasa amat disayang,
Hati ini pernah benar-benar merasa amat dicinta,
Hati ini pernah benar-benar merasa amat disanjung,
Hati ini pernah benar-benar merasa amat dijaga seutuhnya,
Merasa amat nyaman ada di genggamannya,
Merasa amat nyaman ada di pelukannya,
Merasa amat nyaman ada di sisinya,
Merasa amat nyaman bersamanya.
Celakanya, itu tak lama, aku merasa hanya sekali tiupan angin,
Dan semua itu Lenyap! menghilang.
Oh Tuhan, "Beginikah?".
Setiap pedih yang kurasa, ku belai hati ini dengan sisa-sisa kekuatanku.
Ku Bersimpu dihadapan Tuhan,
Ku kembalikan semua kepada Tuhan,
Runtuhan ranting mencaciku,
"Apakah ini mampu membuatmu menyerah?".
Denyut nadiku menepis,
"Tidak, aku tak akan menyerah, aku hanya sedikit lelah!".
Runtuhan ranting menertawakanku.
Ku lontarkan bisik hatiku pada semut-semut kecil yang berlalu di depan sandaran Kayu ku,
"Sungguh pedih, ini benar-benar pedih!".
Aku tahu mengapa semut-semut kecil enggan menoleh ke arahku.
Iblis neraka bertengger disampingku, "Dia memang tak pernah memberikan hatinya padamu! Bodoh!".
Tak sanggup ku jawab. terbesit di hatiku, "Benarkah?".
Aku bertanya kepada Tuhan, "Ya Tuhan, Beginikah?"
Aku memohon kepada Tuhan, "Ya Tuhan, berikan kekuatan untukku!"
Mungkin Tuhan mulai kesal kepadaku karena aku terlalu banyak bertanya,
Mungkin Tuhan mulai marah kepadaku karena aku terlalu banyak memohon.
Kemudian Tuhan berjanji kepadaku, Tuhan akan memberiku yang lebih baik daripada dia, yang jauh lebih Sempurna daripada dia.
Dia yang telah mensia-siakan aku.
Aku yakin,
Tuhan amat menyayangiku,
Tuhan amat mengasihani aku,
Tuhan amat Adil kepadaku,
Tuhan 'kan selalu menjagaku,
Tuhan 'kan selalu menolongku,
Tuhan 'kan selalu memberi yang terbaik diantara semua yang terbaik kepadaku.
Dan, yang selalu ku tancapkan pada hati yang rapuh ini adalah,
Tuhan tak 'kan memberikan semua ini diluar garis kemampuanku.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
November,
Bodohnya aku, masih bersabar menunggu.
"Menunggu apalagi?", tanya Bulan padaku.
"Siapa lagi? Dia!", jawab hatiku.
"Sudahlah! Go On!", jawab fikirku.
"Aku 'kan menunggunya kembali", bantah hatiku.
"Tak sanggup disebut dengan kata-kata, kamu Bodoh atau benar-benar Bodoh?", marah fikirku.
Hati dan fikiran ini saling berlawanan. jika ditanya, "Aku tak tahu!"
-----
Hubungan kami tlah usai, namun kami masihlah menjunjung tinggi Pertemanan.
Suatu malam, angin mengajakku 'tuk bertemu dengannya.
Berjabat tangan, kusebutnya sebagai tanda penghormatan.
Kami melaju diatas "Jupiter-Coaster".
"Tuhan, ini masihlah terasa seperti sesuatu yang tlah berlalu", bisik hatiku pada Tuhan.
"Jangan pergi! tetaplah bersamaku!", pintaku padanya.
"Sudahlah, jangan terlalu digenggam, lepaskan jiwa ini! biarkan aku lepas!", Hujatnya.
"Kamu satu-satunya yang kumau!", bantahku.
"Biarlah jiwa ini pergi! carilah kebahagiaanmu, BUKAN AKU!", jelasnya padaku.
"Pergilah jika itu maumu! aku tak 'kan menahanmu! jangan hiraukan aku. aku 'kan menantimu! ini mauku.", tangisku.
"Kamu mampu mendapat yang lebih baik daripada aku!", sahutnya lembut.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Desember,
Tuhan,
Lihatlah dia!
Dia yang aku cinta seutuhnya,
Yang aku puja karena kesempurnaannya,
Yang aku junjung setinggi angkasa.
-----
Di satu malam kami berjumpa.
Dengan penuh harap ku bawakan beberapa jenis permen.
Jauh hari aku tlah menjanjikan itu.
Mata terpana, hembusan angin menemani laju nya "Jupiter-Coaster".
Dengan bodohnya tangan ini berani menyodorkan permen-permen yang sudah jenuh di genggamanku.
Harapan penuh akan senyuman darinya. Sungguh!
Malam itu kami berlabuh di ujung kota.
Di bawah sinar bulan, kami duduk dengan dihadapkan segelas Pop Ice Coklat dan segelas Es Teh Manis.
"Tuhan! Kami menikmati kala itu!", desahku dalam hati.
Ku buka layar-lipat'ku, ku putarkan salah satu film di dalamnya.
Empat mata menyaksikan film ber-genre Romance.
"Ya Tuhaaaaan! Aku bahagia di dekatnya".
Malam itu benarlah indah.
Hanya menjerit dalam hati, "Bahagiaaaaanya aku Ya Tuhan!"
Jiwa nan rapuh mencoba berucap, "Semoga harimu bermacam-macam indahnya seperti permen-permen itu!"
Dengan tenang ia menjawab, "Mungkin akan ku bagikan dengan teman-temanku!".
Setitik perih tercoret di hati.
"Tak apa-apa fah!", jawabku tenang dalam hati.
Cukuplah pertemuan malam itu, laju mautnya mengantarkanku pulang.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Pertemanan tetaplah pertemanan,
Tiada api manapun yang sanggup membakarnya hangus.
Angin menyeretku, lagi lagi 'tuk bertemu dengannya.
Malam itu adalah Christmas Moment, kami melaju diatas "Jupiter-Coaster".
Kaum Kristian merayakan Natal, kami tetap melaju.
Menelusuri jalanan, menghirup udara bebas, inilah Keindahan Dunia.
"Jupiter-Coaster" membawa kami dari ujung paling Selatan kota hingga ujung paling utara kota.
Tetap bercanda seperti biasa, diatas "Jupiter-Coaster".
"Tuhan, aku amat bahagia!", seruku dalam hati.
Bulan mengernyitkan dahinya, ku bertanya, "Mengapa?"
Bulan pergi meninggalkanku, aku makin kebingungan.
Tak terasa, 2-3 jam berlalu.
Di perjalanan "Jupiter" mengantarku, ribuan keputusan bercampur menjadi satu difikiranku.
Bibir tak lagi mampu berkata, tak terbendung lagi, ku menangis, penuh bimbang, gunda, Bulan menertawakanku.
Sampailah di ujung jalan, "Jupiter-Coaster" enggan menurunkanku. Dia membawaku kembali ke jalan awal.
Fikirku masihlah amat bimbang, ku tak tahu hendak berkata apa, Sungguh!
Tiba di seberang jalan, "Jupiter-Coaster" terhenti di sebuah bangku, dibawah rindangnya pepohonan.
Kami hanya ditemani cahaya lampu jalanan, sunyinya malam, dinginnya angin malam, sinar bulan, bintang tak mau muncul.
Bisu, lebih tepat aku disebut begitu.
Dia duduk diatas bangku, sedangkan tubuh ini masihlah terdiam diatas "Jupiter".
Tangan hangatnya menyodorkanku permen mint, permen yang seakan-akan berbicara padaku "Tenangkan hatimu!".
"Mengapa terhenti disini? ayo kita pulang!", ucapku.
"Bagaimana ku bisa mengantarkanmu kalau kamu masihlah begini (menangis)? lanjutkan saja!", ledeknya.
Ku tersenyum. "Jupiter-Coaster" mengantarkanku.
Hatiku kalut, fikiranku bimbang, aku belum siap membuat keputusan ini.
Memanglah sudah ku rangkai matang-matang,
Di tengah-tengah perjalanan, dengan semua sisa-sisa kewarasanku akhirnya ku katakan.
"Tak bisa seperti ini lagi", cetusku.
"Maksudmu?", tanyanya padaku.
"Kita tak bisa bertatap lagi, seharusnya tak seperti ini", tangisku.
Dia hanya diam. ku lanjutkan.
"Tak bisa seperti ini lagi! ini yang terakhir kita bertatap."
Dia masih memperhatikan ucapan kegilaanku.
"Ini yang terakhir kita bertatap", tangisku makin mendera.
Tak ada sahut, dia hanya terdiam.
"Kalau terus seperti ini, kapan ada kesempatan aku bisa menghapusmu?", teriakku.
Dia hanya tersenyum, lalu tertawa.
Betapa Gila nya aku kala itu, Bintang terbahak-bahak menyaksikanku.
Ahh, Aku tak tahu. benar-benar tak waras. aku sadar, ini Gila, tapi inilah yang seharusnya ku lakukan.
Sudah ku fikir matang-matang. ini kehidupan, bukan drama perfilman. aku sadar, ini! harus!
Bukan lelucon atau candaan, mengapa Dia menertawakanku?
"Beri aku waktu, 5 tahun ke depan kita jumpa lagi! bisakah?", tanyaku penuh harap.
"5 tahun? tidak bisa. dalam waktu 5 tahun kedepan mungkin aku sudah membina rumah tangga, kita tidak bisa berjumpa lagi", jawabnya tegas.
Sungguh! bak tersambar petir, tangisku makin menjadi, sesalku bukan main, sedihku sedalam lautan, tak mampu ku jelaskan.
"Nikmati!", ledek Bintang padaku.
"Rasakan!", caci Bulan padaku.
"Tuhaaaaaaaaaan!", jeritku dalam tangis.
Menyodorkan layar Ponselnya padaku, "Lihatlah! sudah ku hapus kontakmu."
"Tak perlu kamu begitu!", sahutku lemah.
Tak bersalaman, tak menatapku, Dia menancap Gas dan pergi meninggalkanku.
"Tuhaaaaaaaaaan!", tangisku.
Serasa mati, benar-benar kehilangan seluruhnya, tak lagi bisa ku lanjutkan dengan sisa-sisa nafasku ini.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Tuhan,
Lihatlah dia!
Dia yang memberiku setitik canda,
Yang memberiku tempat bertumpu ketika ku tak mampu,
Yang memberiku setitik kebahagiaan yang tak mampu kusebutkan.
Tuhan,
Dimanakah dia yang seperti itu?
Masih adakah dia yang ku butuh?
Kemanakah angin melenyapkannya?
Tuhan,
Engkau tahu, sudah tak ada lagi.
Engkau tahu, Dia benar-benar tak ada lagi.
Angin melenyapkannya, tak bersisa. dihempasnya begitu saja.
Tuhan,
Aku tahu ini rencana-Mu!
"Beginikah, ya Tuhan?"
Tuhan, sekali lagi ku bertanya, "Beginikah?"
Ya Tuhan,
Dulu, satu-satunya kebahagiaanku, Dia.
Dulu, yang kupuja-puja, Dia.
Dulu, yang kusayang, Dia.
Dulu, yang menghadirkan tawa ketika ku duka, Dia.
Dan, yang memberi setitik air mata, Dia.
Memanglah sempurna, hanya satu-satunya yang ku cinta.
Tuhan, "beginikah?"
Lalu ku menertawakan diri ini lagi.
Betapa bodohnya aku,
Sudah jelas Dia yang menginginkan perpisahan ini. Sudah jelas Dia tak menginginkan aku lagi. Namun ku tetap memberi ruang untuknya pada hati ini.
Betapa bodohnya aku,
Aku lah yang memintanya agar tak berjumpa lagi, namun aku pun menginginkan setiap saat ku membuka mata Ia hadir di hadapanku.
Ku takkan melupakannya, ku coba menerima dan menyadari Kenyataan ini.
Sesekali semua kenangan itu muncul, nampak nyata.
Ku menangis, hanya ditemani bintang-bintang yang seakan-akan bertanya-tanya padaku.
"Siapa dia? apa dia?".
Serpihan hatiku menjawabnya,
"Hanyalah sosok di masa lalu, yang menghadirkan secuil cinta dan tetes-tetes air mata".
Melihat ilusi-ilusi yang memanglah kurasa pernah ada,
Berpura-pura menganggap semua pedih ini hanya mimpi,
Dan meyakinkan diriku sendiri, badai pasti berlalu.
"Tuhan, aku memohon, kuatkan jiwa yang lemah ini!", jerit tangisku pada Tuhan.
Bulan berbisik kepadaku,
"Tersenyumlah! ini awal perjalananmu!"
Melihat lagi, yang tersisa hanya kenangan.
Berpura-pura menganggap, ini mimpi indah dan terpanjang yang pernah ku alami.
Meyakinkan hati ini, bahwa semua ini hanya badai sementara.
Namun, hujan menyadarkanku, "Come On! Wake Up! Semua ini Nyata!".
Aku bertanya, "oh Tuhan, mengapa se-sakit ini?"
Sambil ku tertawakan diriku yang benar-benar pantas ditertawakan.
Dedaunan kering pun ikut menertawakan kebodohanku.
"Ya Tuhan, lucu sekali aku ini", tawa ku.
Air mata yang menjawab ketika Bibir ini tak lagi mampu mengucap.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Aku Benar-Benar Memohon, Ya Tuhan!".
Cukup, hanya itu.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Mei, 2014.
Kucoba beranikan jemari ini mengetik sebuah pesan.
Apa kabar jiwa itu? Apa kabar raga itu?
Kucoba beranikan jemari ini menekan tombol “Send”.
Ku tunggu, beberapa detik kemudian, “Message sent Success” muncul pada layar.
Hati ini amatlah bahagia.
“Tuhan! Jupiter masih bisa ku hubungi!”
Beberapa menit, ku terima balasan darinya.
“God, Everything flow greatly Amazing!”, syukurku pada tuhan.
-----
Aku hanya ingin memberinya sedikit hasil tanganku.
Benar-benar berharap dia senang menerimanya.
Aku salah, kekecewaan yang ku dapat.
“Waktu berlalu begitu cepat ya tuhaaaaan!”, bisik hatiku pelan.
“I love the way you hurt”, sahut Bulan yang bersinar terang pada kegelapan.
“You shouldn’t be like this!!!”, semut-semut menatapku.
Tetesan air mata ini membuatku nampak “Emmm, betapa lemahnya aku!”.
Ku tersenyum. Bagaimanapun juga aku bersyukur pada Tuhan.
Tuhan tlah mengizinkanku memberikan karya itu pada Jupiter.
“Meskipun hatiku terbanting pilu, fikirku terkoyak kasar, Aku bahagia Ya Tuhan.”
Tersenyum manis dan mengambil selembar sapu tangan.
Tuhan membelaku.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Juli, 2014.
Di bulan penuh berkah,
Sungguh senangnya aku, aku diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Favoritku.
Beribu kali kuucap syukurku pada Tuhan.
Malam itu, jemari pemberani ini mengirimkan pesan singkat.
Maksud hati ingin berbagi bahagia.
Ia menyambut baik pesanku.
Bintang-bintang menyaksikan kami saling berbalas pesan.
"Tuhan! Ia masihlah peduli dengan hamba!", ucapku bahagia.
Bulan melihat kami saling berbagi nasihat.
Aku dengan studiku, Ia dengan pekerjaannya.
Lindungilah kami selalu, Ya Tuhan!
Mudahkanlah jalan kami selalu, Ya Tuhan!
Berkahilah jalan kami masing-masing, Ya Tuhan!
Aku, bintang, dan bulan serentak menjawab "Amin!"
-----
Suatu malam,
Benar-benar kebodohanku melakukan hal itu.
"Ampuni aku Ya Tuhan!", tangisku tak bisa ku tahan.
Terpaksa ku berbohong padanya,
"Semoga Tuhan memaafkanku! Amin!", sesalku tiada batas.
Aku kecewa dan marah terhadap kebodohanku sendiri.
"Semoga engkau mengerti bahwa tiada satupun lelaki yang mampu menapak pada hati ini kecuali dirimu", tangis gilaku.
"Semoga engkau mengerti! mengerti bahwa hanya engkau di hatiku", jeritku lantang.
Kekecewaanku terhadap diriku ini benar-benar membuat aku kalut,
Aku tak sanggup berbohong lebih lama kepadanya tentang sosok lain di hati ini.
Aku marah pada diriku sendiri.
Ku putuskan 'tuk berhenti menghubunginya,
Ku tekan tombol laknat di layar ponselku, "Delete Contact".
"Ya Tuhan!", sesalku.
Mungkin dengan ini aku bisa melupakannya.
-----
28 Juli 2014,
Hari raya Idul Fitri tiba,
Perasaan gunda bercampur pilu tak terbataskan.
Ingin ku mengucap kata "Minal Aidzin Wal Faidzin" melalui pesan singkat,
Tetapi, memang bodohnya aku yang telah menghapus Kontaknya.
Tubuh ini hanya terdiam.
Sinar mentari menenangkan.
Dalam hitungan menit, muncul lah pesan baru pada layar ponselku.
Pesan singkat dari sebuah nomor asing,
Berisikan ucapan Mohon maaf lahir dan batin,
Itu lah pesan singkat dari seseorang yang kutunggu.
Bergeming bahagia tak henti-hentinya ku ucap syukur pada Tuhanku.
Sejak saat itulah ku menyimpan kontaknya kembali.
Dengan gila ku tanyakan, "Akankah engkau berkunjung ke gubukku?".
Ia akan mengunjungiku hari itu juga,
Tetapi, betapa tak beruntungnya aku, aku masihlah berada di rumah nenek.
Secepat mungkin aku jawab, "Esok aku pulang".
Ia tak bisa mengunjungiku,
"Ya Tuhan! lagi-lagi aku tak beruntung!", tangisku.
Ku tanyakan "Mengapa?".
Ia menjawab bahwa ia akan pulang ke kampung halamannya, Semarang.
"Kunjungi aku sebisamu! andaikan tetap tak bisa, tak apa-apa", jawabku dengan setitik senyum.
--------------- --------------- --------------- --------------- ---------------
Agustus, 2014.
Ku lihat layar ponselku, ku baca sebuah pesan baru.
"Ya Tuhan! Ia akan kemari!", loncatku bahagia.
Runtuhan dedaunan ikut bahagia bersamaku.
Pagi itu ia barulah kembali dari kampung halaman.
Tengah hari, sampailah ia di hadapan jalan kecil menuju gubukku.
Ku menghampirinya,
Ku antarkan ia berkunjung sebentar di gubukku yang sederhana.
"Ya Tuhan! ini hadiah terindah dari-Mu! Terima kasih!", ucapku bahagia dalam hati.
Kami berbincang, ditemani dengan sahabatku, Nugraini.
Tak henti-hentinya ku memandang wajah rupawan itu.
Dalam hati ku berkata, "Subhanallah! sungguh tampan wajahmu! betapa bahagia aku pernah memilikimu!".
Angin menghampiriku, "Lihatlah dia! Lelaki yang telah menyakiti batinmu!"
Aku menepis, "Tidak! bagaimanapun ia, hati ini 'kan selalu menerima kehadirannya."
"Ya Tuhan! Tampan rupanya, istimewa akhlaknya, dia lah yang ku mau Ya Tuhan!", doa'ku.
Ku sodorkan Kotak MP3ku, "Perbaiki ini, tolong!", pintaku.
Ya Tuhan!
"Lihatlah betapa bahagianya aku ini! Terima kasih!", ucapku dalam hati.
Tangan indahnya memperbaiki benda kesayanganku itu.
Tak henti-henti ku memandanginya.
"Ya Tuhan! dia lah orang yang aku cinta!", desahku pahit dalam hati.
-----
Siang hari,
Ia mengajakku berkunjung ke istana nya.
"Tuhan, apakah ini mimpi?".
Dahulu, ketika hati ini masihlah menyatu dengannya, tak pernah sekalipun ia mengajakku berkunjung ke istana nya itu.
Angin menertawakanku.
Laju "Jupiter-Coaster" membawaku kesana.
"Ya Tuhan! aku sangat merindukan masa-masa seperti ini", tangisku haru dalam hati.
"Aku sangat merindukan Jupiter-Coaster", ucapku perlahan.
Tibalah kami di istana nya,
Aku disambut oleh dua sosok malaikat yang menghadirkan ia ke dunia ini.
Ya, Ayah dan Ibu nya.
"Tuhan, sekali lagi ku bertanya, apakah ini mimpi?", tanya bahagiaku.
Berbincang sepatah duapatah kata dengan ayah, ibu, dan neneknya.
"Tuhan! terima kasih!", syukurku.
Mereka pergi meninggalkan kami berdua.
Empat mata berbincang seperti dahulu kala.
"Ya Tuhan! bangunkan aku jika ini hanyalah mimpi!", pinta'ku pada Tuhan.
Benar-benar seperti ia yang dulu,
Aku amat merindukan masa-masa seperti ini.
Dalam hati ku bertanya, "Apakah kau masih ingat tentang janji kita dahulu?".
Ku tepiskan angan kosongku, ku lanjutkan berbagi cerita dengannya.
"Ya Tuhan! aku sangat merindukannya!", desahku dalam hati.
Petang itu ia mengantarkanku kembali.
Namun ku rasakan kekecewaan,
Amat kecewa, karena ku tak diantar oleh "Jupiter-Coaster" kesayangan kami.
"Tenanglah fah! selagi ia di dekatmu, semesta pun tiada berarti lagi untukmu!", mentari menenangkanku.
"Terima kasih, Tuhan!"
"Terima kasih, Sayang!".
Hari itu berakhir istimewa, se-istimewa sosoknya.
#Cholifah
Kalo ini sudah dipastikan bahwa novel ini berdasarkan kisah nyata...Jupiter coaster.nya aja masih berkeliaran di jalan hahaha
BalasHapusAstagaaaaa
Hapus