Kumulai bercerita
dari titik. Dari titik-titik lalu menjadi garis.
Dari garis
menjadi sebuah gambaran,
Gambaran itu
persis seperti lukisan terindah yang terkesan lara.
Seperti jatuhnya
air, dari tetes-tetes hingga menjadi cucuran.
Hidup terlalu
pilu bila hanya terbiasa memandang mereka,
Yah! Mereka mereka
apa yang tlah melampaui batasnya.
Ku tak lagi
membicarakan siapakah mereka mereka itu.
Ku pun tak
lagi membicarakan apa yang menjadi batasan itu.
Yang benar-benar
ingin ku bicarakan saat ini adalah bagaimana caraku agar aku tetap bisa berjalan
hingga tepat sampai pada tujuan kehidupan, kematian.
Entahlah,
kini hidup sudah bukan lagi hitam dan putih, tapi sudah menjadi abu-abu.
Abu-abu
pudar, terkadang pula abu-abu gelap.
Bukan mendung
ataupun kabut hitam, melainkan perasaan yang sudah tak jelas apa yang tengah
dirasakan.
Dikata berbahagia,
tidak. Merana pun tak jua.
Awal dari
segalanya ketika seseorang menancapkan belatinya.
Menusuk,
menembus lapisan kulit, menancap pada daging, lalu mengoyaknya dengan seluruh
kekuatan yang dikumpulkannya, semakin dalam dan semakin menyakitkan. Terlihat seperti
itu.
Semua itu
hanyalah awal.
Bukankah hal
itu cukup manis untuk disaksikan?
Emmm.. tak
pantas jika ku menggunakan tanda Tanya pada kalimat baru saja.
Seharusnya aku
menggunakan tanda Titik saja.
Yah! Hal itu
cukup manis untuk disaksikan. Titik. Dan jangan pernah tertulis tanda Tanya
lagi. Memangnya apa yang perlu ku jawab? bukankah telah terjawab dengan jelas
pada permulaan tulisan ini?
Dari titik,
ku membencinya.
Dari titik,
aku sangat membencinya.
Ku mengulanginya
ketigakalinya, dari titik hingga titik tak berujung aku cukup sangat
membencinya.
Titik tidak
berseru, tidak pula bertanya. Ia mengakhiri.
“apalah yang
kau ingin ‘tuk diserukan lagi? ‘tuk ditanya lagi?”, seharusnya kalimat tersebut
hilang.
“Hahahaha”, tawaku
memecah malam.
Tebak-lah,
apa yang tengah ku bicarakan saat ini?
Terka-lah, dengan
siapa ku tengah berbicara saat ini?
Secangkir kopi
dalam cangkir kaca bening.
Ku berbincang
dengannya, Kopi tahu bahwa tuannya ini sedang menginginkan tujuan akhir.
Tapi entahlah,
kopi dalam cangkir kaca bening ini hanya mendiamkanku.
Walaupun mulutku
tlah berbusa bercengkrama dengannya.
Tiupan angin
malam yang lewat dicela jendela kamar menyadarkanku, gelapnya ruangan ini
menemaniku, sunyi malam pun menyanyikanku syair sepi.
Dari titik,
aku inginkan sendiri.
Setelah itu
ia berubah menjadi garis.
Garis itu
mulai mengajakku ‘tuk bercerita, ia berkata bahwa akulah yang memulainya.
Tidak! Jangan
kau salahkan aku. Bukankah asap tercipta karena adanya api?
Pribahasa kuno.
Sangat terekam
jelas bagaimana mulanya.
Semakin kucoba
membuatnya menjadi ‘bukan apa-apa’ maka semakin akulah yang menjadi ‘apa-apa’.
Ruangan ini
tidak menceritakanku apa itu hampa. Ruangan ini pun tidak membicarakan
kekosongan. Tetapi raga ini sangatlah hafal dengan semua hal-hal pengisi ruang.
Ini terasa hampa, kosong.
Tak perlu
diceritakan lagi, sangatlah hafal.
Dari titik
hingga titik tak berujung.
Berkaca pada
cangkir kopiku, wajahku terlihat tak seperti dulu.
Akupun enggan
melihat berlama-lama. Terasa muak melihat diriku sendiri.
Inginku menjadi
kopi, walaupun terasa pahit, namun ia memberikan manis.
Banyak yang
berselera kopi itu buruk, namun tak sedikit pecintanya.
Ia sederhana,
tak pernah ingin menjadi apa-apa selain menenangkan pecintanya.
“apa yang
kau bicarakan bodoh?”, teriakan itu datang dari keheningan.
Tak lagi
bisa menangis. Tertawa jauh lebih asyik.
Nyanyian syair
sepi tetap dinyanyikan sang sunyi malam.
Aku sudah
memakinya untuk segera diam, namun sang sunyi malam masih melakukannya.
Ayolah! Coba
sesekali mendengarkan makianku. Bukankah sangat nikmat rasanya dimaki oleh
kesedihan? Biar ku ceritakan, mereka sering melakukan itu padaku,dan aku
menikmatinya.
Ayolah! Sepi
itu hanya sederhana, tak seburuk ini, katakan hal itu padaku agar ku mempercayainya.
Sudut ruang
menjawab, “Hey! tiada yang mampu menemani dirimu yang seburuk saat ini kawan!”.
Derai air
mata berjatuhan. Aaaaah! Malam ini terasa sangat panjang.
Fajar, kapan
kau menyapaku? Rembulan sudah cukup menyiksaku saat ini. Bergegaslah!
Sepertinya benar
apa yang dikatakan oleh sudut ruang, buruk sekali.
Merontah
kesakitan, entah apa yang terluka.
Jangan kau
ajak aku ‘tuk membicarakan ‘mereka dan batasan’. Ku tak sanggup.
Sendiri ku
bergumam, “sekarang, apa lagi?”.
Hey hey, ini
tak terlalu buruk untuk memulai lagi. Memulai garis yang lainnya.
Hey hey,
dari titik ini kau belajar. Ini jalan awal, jangan kau bergegas menuju tujuan
akhirmu.
Hey hey,
bukankah di tokoh dekat rumahmu masihlah menyediakan jutaan lembar HVS?
Ah!
sudahlah. Malam yang panjang ini hanya ku habiskan bersama secangkir kopi
favoritku.
Ku inginkan
segelintir batang berisi racikan tembakau seperti kala itu, sepertinya itu
cukup menenangkan.
Masihlah ku
ingat bagaimana asap tembakau hirupanku menggambarkan laraku kala itu.
Kali ini
takkan ku lakukan lagi.
Sepertinya…..
sepertinya malam akan menjadi sangat panjang dan amat membosankan.
Ku tulis
bait-bait ini hanya sebagai pelampiasan.
Teringat mereka
berdua pergi dengan senyuman tepat di depanku, belati itu tlah berubah menjadi
pedang katana. Ku lanjutkan sayatan belati itu menjadi tebasan samurai. Ini lebih
baik.
Cukuplah,
isi cangkir kopiku sudah hampir habis, Lalu, siapakah yang akan bersamaku
melawan sepi?
Nyanyian sepi
makin mengosongkan ruangan ini. Hanya terdiam, diriku dan kenangan.
Yah! Sudah,
cukup. Jangan ku tambahkan lagi.
Titik-titik
itu telah tertulis rapi dan tertata sejajar hingga menjadi garis-garis yang
menjadi sebuah gambaran apik. Sekarang yang ku perlukan hanyalah lembaran baru.
“Nikmati dulu
kopimu yang mulai mendingin itu, lalu lanjutkan dengan mengusap bersih air
matamu.”, tegas rembulan yang sedari tadi menyiksaku dalam kalut.
Sang malam
sudah cukup baik terhadapku untuk kali ini, ku berterimakasih padanya. Sungguh!
Ia mengajariku
bahwa dari titik aku masih bisa melanjutkan, bukan lagi titik, namun koma.
Itu tanda
baca yang amat kusukai sejak detik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar