Ia berteriak, keras sekali.
Hingga telingaku berdengung.
Ku berkata hentikan, ia tak mendengar.
Ku katakan ku tak tahan, ia tak peduli.
Teriakannya pun makin kencang.
Ku menikmati saat-saat seperti ini, ah tidak, aku hanya mencoba menikmati, rasanya menyakitkan.
Ia tetap meneriaki aku.
Aku bersama diriku, duduk terdiam di atas tumpukan kenangan.
Ia takkan melihatku. Takkan pernah.
Seperti marxisme yang berkata bahwa manusia terdiri atas kelas-kelas, maka ku yakin kelas terburuk yang kudiami saat ini, dimatanya.
Ia tetap berteriak, tiada ampun.
Suaranya menggema di sudut-sudut rongga kepalaku.
Tetesan bening akhirnya jatuh, pipi ini basah. Bukan kesedihan, namun kekecewaan.
Jangan kau tanyakan seberapa dalam, takkan ada alat pengukur yang mampu menjawab.
Hey.. jangan berteriak lagi, ku tak tahan, benar-benar tak tahan, hentikan teriakanmu.
Ku lihat sekelilingku.. Ah! Ternyata sedari tadi hanya ada diriku sendiri di ruangan gelap dan sunyi ini. Hanya ada aku dan kepalaku, teriakan di dalam pikiran.
Sepertinya aku mulai gila. Kewarasanku tlah direnggut kekecewaan itu. Aku marah sekali.
Ku tak tertarik dengan kata "gila". Sungguh, ia sangat tidak menarik.
Lihat saja. Baru kau akan mempercayai mulutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar