Kau
adalah Herakleitos yang mengubah seluruh kenyataan menjadi api.
Api
yang membakarhanguskan rasa.
Rasaku
ini hanyalah sintesa menurutmu.
Herakleitos
si gelap namun bercahaya, itulah dirimu.
Cahayamu
itu ada seperti apa yang tercipta.
Ada
itu adalah ada seperti Parminides bersaksi.
Mata
ini melihatmu bersamanya, namun hati ini melihatmu masihlah bersandar pada jiwa
sepiku.
Jikalau
kau menanyakan keyakinan, ya keyakinan itu akan selalu ada.
Keyakinan
akan kebenaran cinta kasihku.
Yakin
bahwa suatu ketika nanti kau akan menemukan jalan terbaikmu, yaitu aku.
Sungguh
engkau telah dibutakan dia.
Dia
sesuatu yang tak mutlak mengetahui keberadaanmu, cinta.
Kau
adalah manusia yang ada, sadar akan keberadaan itu, Socrates bersaksi.
Duhai
cinta, engkau adalah bagian dari semestaku.
Tidakkah
kau peduli apakah bentuk satu-satunya kebahagiaanmu?
Diri
ini bertanya, sesungguhnyaapa keinginan terbesarmu?
Berdialektika
dengan diri sendiri.
Seakan-akan
mereka mengerti apa jerit hatiku.
Mereka
mendengar namun tuli.
Hanya
butiran pilu yang mampu menjawab resahku.
Kau
tak pernah tahu letak bahagiamu. BODOH!
Kau
membidani jiwa dan pengetahuan dalam jiwaku.
Jangan
kau butakan sesuatu yang mampu melihat itu.
Jiwamu
adalah inti dari nafasmu, bukan dia.
Kekeliruan
yang tertanam adalah kesalahanku.
Catatlah
dengan indah semua eudamoniamu.
Seperti
sang Socrates menjelaskannya padaku.
Kaulah
secerca keindahan cinta yang pernah ku ketahui.
Sisa-sisa
rasa ini masihlah hidup.
Ntah
kapan mereka akan mati.
Aku
menikmati pilu ini, tenang saja.
Tenang,
tak perlu kau perdulikan aku dan apapun atas diriku.
Aku
hidup dengan pilu ini.
Sesungguhnya
pilu ini adalah teman sepiku.
Teman
di kala kenangan menyambut malam gulitaku.
Kenangan
akan dirimu yang tlah melangkahkan hati bersama dia.
Ku
tak rela, sungguh.
Tapi
reruntuhan daun yang tertiup angin sedang mengajarkanku.
Mengajarkan
apa itu merelakan sesuatu yang seharusnya tak aku relakan.
Kau
buta, tuli, dan tak punya rasa.
Kau
selalu benar dengan seluruh perkataan dan perbuatanmu atas hidupmu.
Kau
selalu benar, tak pernah mencicipi getir kesalahan.
Hanya
aku, hanya diriku, hanya aku yang merasakannya.
Merasakan
sesuatu yang sebenarnya batin ini jelas menolaknya.
Ya!
Kau berjalan dan berpura-pura bahagia dengannya. BODOH!
Perasaan
ini menjerit demikian.
Dan
maka biarkan kesendirian dan sepi ini membunuhku berkali-kali.
Aku
bahagia dengan kematian ini.
Setidaknya
aku pernah melawannya, walau ku tak pernah menang.
Bahwa
sesungguhnya akulah satu-satunya pecundang diantara rasaku dan kalian.
Kau
dan dia terlihat sangat berbahagia, berbahagia atas kematianku.
Terimakasihku
tak pernah usai kuucapkan padamu yang amat ku cinta.
Maafku
tak pernah terhenti kuucapkan padamu atas kebodohanku.
Salam
berbahagia selalu dari sang waktu, ia menyapamu.
Sang
waktu menegurku agar tak berusaha melupakanmu.
Ia
hanya menegur, kan? Tapi tak menghentikanku.
Tolonglah
aku untuk melanjutkan tekadku ‘tuk menghapusmu.
Dan
biarkan semua yang berlalu terlihat samar-samar dimataku,
Tapi
nampak jelas di memoriku, Dan terhapus bersih dari hidupmu.
Berbahagialah,
krisnaku!
Jikalau
dia membuatmu bersedih, maka kemarilah.
Dan
biarkan aku yang membuaimu dalam mahligai cintaku.
Ingatanku
tak sepenuhnya mampu melupakanmu.
BODOH!
Dan sekali lagi aku BODOH.
Berbahagialah,
demi kenangan kita yang tlah ditelan bumi amarahku atas dirimu.
Berbahagialah
demi aku yang telah mati atas penantian
BODOH ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar