Suatu siang aku dikejutkan dengan sepasang kekasih yang sedang berseteru hebat. Emmm.. rupanya mereka saling menuntut pengorbanan mereka.
'Pengorbanan' dalam cinta itu 'hal biasa',
Karena sudah menjadi 'hal biasa' maka tak patut lagi disebut 'Pengorbanan'.
Kalau kau masih menyebutnya 'Pengorbanan', cintamu masih dangkal, atau jangan-jangan itu bukan cinta (?)
Dan lagi,
Kau pun tak perlu menyebut pengorbanan'mu padanya. jika ia paham pastilah ia memahami itu sebagai 'cinta', bukan 'pengorbanan'.
Aku pun sedang berbicara padamu, iya, kamu, entah siapa, diriku sendiri mungkin.
*bercermin
***
Jangankan mereka sepasang kekasih muda,
Ibu dan ayahku saja masihlah gemar berbicara pengorbanan.
Ah.. aku tahu apa.
Pikiran ini melayang,
Seperti menerka sesuatu dibalik awan.
Kupandangi di luar jendela sana,
Tergambar aku, kamu, dia, dan mereka.
Pandanganku mulai bercerita entah seperti apa alurnya, namun amat ku ingat, aku tetaplah aku, sudah bosan bicara tentangmu, perjuangan, dan alasan.
Bukan aku yang menyerah atau pergi, tapi ceritanya yang memang sudah jauh berubah.
Setelah itu ku akhiri, hujan deras disana, ku tutup jendelaku saja.
***
Kurebahkan tubuhku sambil menatap langit-langit kamar,
Bukan seperti ini seharusnya.
Ya.. lalu bagaimana? Rencanaku hanya storyboard, pemainnya bukan hanya aku.
"Perjuangan macam apa yang membuatmu menangis setiap waktu?", seperti ada yang menyapaku demikian.
Jangan berlebihan,
Tidak ada siapa-siapa,
Hanya ada angin dan kerinduan.
Ku tutup mataku sejenak. Aku terlelap.
***
Hujannya belum reda,
Ku terbangun, ku perhatikan tetes-tetes hujan di kaca jendela.
Tubuh ini mematung.
Dingin, gemetar, dan menggigil.
Ku teringat kedua mata itu,
Semakin menggigil.
Kedua telapak tangannya menempel, memohon "maaf". Ingatanku sangat kuat rupanya.
Apakah aku masih rindu? Semoga tidak, ini hanya kedinginan karena di luar sedang hujan. "Aku benar, kan?", tanyaku termenung, menggigit bibir. (Nur Cholifah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar