Aku berhamba pada rasa,
Aku adalah hamba dari sebuah rasa,
Rasa yang sengaja tercipta,
Tercipta sebagai alasan mengapa dua orang bersama.
Dan masih bersama. Terus bersama.
Alasan klasik yang asik mengusik,
"Hey, I love you"
Kurasa pagi ini dingin sekali,
Aku menggigil,
Menjalar hingga sumsum.
Hangat yang kurasa,
Di dalam relung dada ini,
Jauh yang ada disana,
Aku menunggunya.
Penantian (bukan) hanyalah sebuah penantian,
Penantian itu berharap temu,
Ia berharap keadaan berpihak padanya,
Tidak menggagalkan (lagi),
Ia menginginkan temu,
Penantian itu masih dan masih.
"Hey, tetaplah tinggal!"
Aku duduk, bersandar,
Sandaranku masihlah sama,
Tembok yang lagi lagi kubercerita tentang kamu.
Smoga tembok ruangan 3x3 ini tak pernah bosan mendengar
Namamu.. namamu.. namamu..
Aku rindu, sekali lagi aku rindu.
Bertahanlah. Keadaan ini akan segera terbayarkan.
Angin menghujatku :
"Kau selalu bertudung rindu!"
Ya! Benar saja, kekasihku sedang disita oleh sang waktu.
Kuharus bagaimana lagi selain bernyanyian rindu?
Angin menertawakanku, seakan ia berkata :
"Aku pun pernah menjadi kamu, tunggulah ia!"
Tanpa angin pinta jua, aku telah menunggu.
Beberapa kata lirih kugemakan dalam ruangan ini,
Menggema, menjalar hingga palung hati.
"Kubunuh diriku setiap kali kau menghilang"
"Mengapa ini terasa sedikit lebih lama?"
"Aku adalah penyabar yang pernah ada"
"Kamu dimana? Sedang apa? Aku rindu"
"Baik-baik disana"
Tubuhku kian menggigil,
Sesekali kugosok kedua telapak tangan,
Teriakan dalam kepala meracuni :
"Tinggalkan!"
Sesuatu dalam dada mencabik-cabikku :
"Aku mencintainya, kami akan bersama".
Selalu seperti itu.
Pagi ini, aku bahagia
Mendengar suaramu walau hanya lewat media.
Betapa bersyukurnya aku, aku masih bersamamu.
Betapa bersyukurnya aku, kau masih mencintaiku. Selalu. Kan?
Dari aku, perempuan bertudung rindu yang selalu mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar