NUR CHOLIFAH (140531100097)
ILMU KOMUNIKASI - C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
1. Teori strukturasi yang berusaha
mencari ”jalan tengah” mengenai dualisme yang menggejala dalam ilmu-ilmu
sosial. Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang
realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur
dan kekuatan sosial. Seperti: fungsionalisme struktural (fungsionalisme: teori
yang menekankan bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu
saling bergantung dan menjadi kesatuan yang berfungsi. Struktural: berkenaan
dengan struktur) yang cenderung ke obyektivisme. Kedua, pendekatan yang terlalu
menekankan pada individu (seperti, interaksionisme simbolik, yang cenderung ke
subyektivisme).
Teori Strukturasi memusatkan pada
praktik sosial yang berulang itu yang pada dasarnya adalah sebuah teori yang
menghubungkan antara agen dan struktur keduanya. Antara agen dan struktur tidak
dapat dipisahkan, menurut Giddens antara agen dan struktur seperti dua mata
uang logam. Keduanya memiliki hubungan dwi rangkap. Titik tolak analisisnya adalah
tindakan manusia, aktivitas “bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial,
tetapi secara terus menerus mereka ciptakan-ulang melalui suatu cara, dan
dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor di
dalam dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang memungkinkan
aktivitas ini berlangsung”. Aktivitas tidak dihasilkan melalui kesadaran,
melalui konstruksi tentang realitas, atau tidak diciptakan oleh struktur
sosial. Dalam menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor, orang terlibat
dalam praktik sosial dan melalui praktik sosial itulah baik kesadaran maupun
struktur diciptakan. Gidden memusatkan pada kesadaran atau refleksivitas. Dalam
merenung (reflexive) manusia tak hanya merenungi diri sendiri, tetapi juga terlibat
dalam memonitor aliran terus-menerus dari aktivitas dan kondisi struktural.
Secara umum Giddens memusatkan perhatian pada proses dialektika dimana praktik
sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan. Jadi, Giddens menjelaskan masalah
agen-struktur secara historis, processual, dan dinamis.
Dalam The Constitution of
Society, Giddens menekankan peran onterpretasi dan sistem makna dalam hidup
manusia. Manusia adalah subjek dan pelaku sebagai dualitas yang saling
mendukung. Manusia adalah subjek yang aktif dan kreatif. Giddens menolak
pendapat bahwa manusia adalah boneka ciptaan aturan-aturan dan
struktur-struktur eksternal. Menurutnya struktur berada diluar individu.
Struktur memiliki keberadaan yang sebenarnya dalam pola-pola pikir, berisi
aturan-aturan dan sumber-sumber (pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan praktis)
yang diperoleh seseorang melalui sosialisasi. Struktur sebagai medium dan hasil
dari tindakan. Struktur menjadi medium karena seseorang tidak dapat bertindak
tanpa kemampuan dan pengetahuan yang sudah terbatinkan. Struktur menjadi hasil
karena pola budaya yang luas direproduksi ketika digunakan. Strukturalisasi
menangkap gambaran tentang hidup sisal sebagai proses timbal balik antara
tindakan-tindakan individual dan kekuatan-kekuatan sosial.
Menurut
teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah
pengalaman aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas
kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang
ruang dan waktu. Aktivitas sosial memiliki tujuan bahwa aktivitas-aktivitas
sosial tidak dilaksanakan oleh aktor sosial melainkan secara terus menerus
mereka ciptakan melalui alat-alat yang digunakan untuk mengekspresikan dirinya
sendiri sebagari aktor.
1.
Teori Strukturasi diatas adalah
teori yang menepis Dualism. Usaha pertama yang dilakukan Anthony Giddens untuk menyelesaikan persoalan
yang dialami oleh ilmu-ilmu sosial adalah melakukan telaah kritik terhadap
mazhab-pemikiran yang ada. Ia memulai dari tradisi pemikiran Karl Mark, Emile
Durkheim, dan Max Weber. Lalu ia mengarahkan refleksi pada berbagai pemikiran
yang sudah menjadi “isme” dewasa ini seperti fungsionalisme Parson,
interaksionisme Goffman, Marxisme, strukturalisme Saussure, post-strukturalisme
Foucault/Derrida. Lalu, Anthony Giddens mengemukakan kritiknya mengenai Dualisme. Berpandangan dualisme yang terjadi antara agen-struktur terjadi karena
struktural-fungsional (struktur berdasarkan jabatan, dilihat dari segi fungsi,
secara sepadan), yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik.
Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah
dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktivitas
agen. sedangkan konstruksionisme-fenomenologis (susunan-ilmu perkembangan
kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu
filsafat atau bagian dari filsafat), yang baginya disebut sebagai berakhir pada
imperialisme (penjajahan yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan
keuntungan yang lebih besar) subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri
klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Dualisme itu berupa perseteruan antara subjektivisme dan objektivisme,
voluntarisme dan deter-minisme (paham yang menganggap setiap kejadian atau
tindakan merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar kemauan).
Yang pertama ialah cara pandang yang memprioritaskan tindakan ataupun
pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Yang kedua merupakan
kecenderungan sebaliknya. Menurut Giddens, akar dari dualisme itu terletak
dalam kesesatan melihat objek kajian ilmu-ilmu sosial. Objek utama ilmu sosial
bukanlah peran sosial seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan kode
tersembunyi seperti terdapat dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula
keunikan-situasional seperti dalam interaksionisme Goffman. Bukan keseluruhan,
bukan bagian dan bukan pelaku-perorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu
“praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu”.
2.
Pemikiran
Habermas, persilangan dari historiche Denken (pemikiran historis) dan utopische
Denken (pemikiran utopis). Pemikiran historis mengkritisi pemikiran utopis
untuk tidak mengawang melampaui pengalaman konkret-historis. Pemikiran utopis
membuka peluang dan ruangan untuk alternatif-alternatif, yang memang
diperlukan, agar orang tidak terikat pada kontinuitas sejarah tanpa kebaruan
alternatif. Dialektika ini tidak selalu bisa berjalan seimbang. Kadang-kadang
orang terjerumus ke dalam utopia berlebihan (seperti Thomas Morus dengan
utopia-nya atau Francis Bacon dengan Nova Atlantis-nya). Kadang-kadang orang
terjerumus ke dalam realisme historis total dan mengingkari utopia. Baru pada
abad ke-20, misalnya dengan munculnya Ernst Bloch dan Karl Mannheim, kecurigaan
terhadap utopia bisa “dibersihkan”. Utopia bukanlah lamunan kosong tetapi suatu
program alternatif bagi kehidupan yang seharusnya diletakkan dalam proses
historis. Kebingungannya terletak disini, apakah ilmu-ilmu sosial dewasa ini tetap
mempertahankan dimensi utopis atau malah lebih menengok dimensi historis? apa
yang diberikan Anthony Giddens terkait dengan dilema disekitar persolan ini?
jika utopia ditinggalkan sama sekali, krisis bukannya hilang, malah makin
menghebat. Kita jadi kehilangan cita-cita. “jika oase utopis mengering, akan
terbentanglah padang pasir kedangkalan dan kebingungan”, perkataan Habermas.
Lalu, Anthony Giddens dituduh sebagai orang yang menyodorkan solusi-solusi
utopis bagi dilema yang sangat real. Anthony Giddens menjawab bahwa
visinya menganut “Realisme-Utopis”.
Maksudnya, suatu pendekatan yang menggambungkan ide-ide utopis dengan
trend-trend yang bisa diamati secara empiris. Kita perlu mengantisipasi masa
depan. Cara kita mengantisipasi masa depan itu akan membantu kita untuk
membentuk masa depan itu sendiri. Karenanya, dengan menarik solusi-solusi yang
tampaknya utopis dari gerakan sosial progresif yang sedang terjadi, orang
kiranya dapat melakukan perubahan-perubahan yang dulu dikira tidak mungkin.
Sumber : Website, Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar