NUR CHOLIFAH (140531100097)
ILMU KOMUNIKASI - C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
1. kenyataan itu
adalah apa yang nyata yang dapat ditangkap subjek. Objek atau benda itulah
kenyataannya. Kenyataan adalah
apa yang ada di dunia ini, yang nyata, faktual, yang dapat ditangkap subjek. Konsep ontologi Friedrich
Nietzsche mempunyai implikasi dalam ajaran tentang manusia. Manusia
untuk menjadi manusia menghadirkan diri lewat budaya. Pandangan tentang manusia
dapat dikatakan cenderung ke monisme, yaitu pandangan bahwa
materi itu satuan tunggal. dimana hakikat manusia itu adalah tubuhnya.
Yang dipandang manusia itu adalah yang bereksistensi, sedangkan eksistensi itu
terjadi jika ada tubuh. Hal ini sangat jelas diungkapkan Zarathustra :
Aku adalah tubuh dan “jiwa” demikian
dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak?
Tapi mereka telah bangun, dan mereka
yang tahu berkata : “aku adalah tubuh seluruhnya. Tidak ada yang lain, jiwa
adalah sesuatu dari tubuh” (Nietzsche, 1969: 146)
Tubuh adalah sebuah
akal besar, kemajemukan yang bermakna satu, perang dan damai, kawanan domba
sekaligus gembalanya.
“Akal kecilmu adalah alat dari tubuhmu itu, saudaraku, yang
kau sebut “ruh” itu adalah alat dari tubuh. Sebuah alat dan mainan kecil dari
akal besar”.
2. Karya Der Wille zur Macht (The will to power) adalah magnum
opus Nieetzsche. Inti semua ajarannya terdapat disini. Segala
konsep dan masalah yang diperbncangkan selalu bermuara pada kehendak untuk
berkuasa. Sebagai mana diungkapkan oleh Walter Kaufmann :
Konsepsi kehendak untuk berkuasa
adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma-nya, ia
menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan
penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa
merupakan motif dasar dan mengatakan bahwa kehendak itu terdapat pada semua
makhluk hidup. (Dalam karyanya kemudian ia menganggapnya telah menembus sampai
pada kehendak tak hidup) (Kaufmann, 1967: 510)
3.
Nihilisme dipahami sebagai 'kedatangan kekal yang sama
(atau dalam terminologi Nietzsche: 'die Ewige Wiederkehr des Gleichen') yang
merupakan siklus berulang-ulang dalam kehidupan tanpa makna berarti di baliknya
seperti datang dan perginya kegembiraan, duka, harapan, kenikmatan, kesakitan,
ke-khilafan, dan seterusnya.
4. Vitalisme dalam
pengertian ini mengandung makna semangat hidup. Hidup itu sangat berharga.
Kecintaan yang luar biasa terhadap hidup bukan berarti takut untuk mati. Hidup
harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak boleh menyerah. Manusia harus
berani berkata ya untuk setiap tantangan dan bahaya. Dari tantangan dan bahaya
inilah manusia akan menjadi besar.
Manusia itu agung asal mau menjulangkan
semangat hidup dan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk itu, manusia harus bebas
dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai tradisional yang
membelenggu potensi kemanusiaannya. Cinta kehidupan berarti harus sanggup
menangggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai, ia
selalu dalam proses menjadi. Manusia adalah jembatan antara binatang dan
manusia agung. Ke manapun ia menoleh, ia akan menatap ancaman dan bahaya (Fuad
Hasan, 1989: 62)
5.
Pemikiran dasar Nietzsche mengenai Tuhan. Nietzsche memahami
Tuhan seperti mimpi. Ketika kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada di
dalam dunia nyata yang ternyata hanya mimpi. Seperti demikianlah mengenai
Tuhan. Manusia tidak mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dengan
kenyataan yang hanya merupakan bayang-bayang. Jika dicoba untuk mengartikannya,
Nietzsche menganggap Tuhan hanya proyeksi dari keterbatasan manusia yang
merindukan sebuah kekuatan yang tidak terbatas.
Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep
kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yesus
adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian disamarkan
menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan mengorbankan Yesus
demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi. Tuhan perlu membunuh
putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir kembali menjadi Tuhan
baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang pertama.
Yang kedua, kesadaran Yahudi menginginkan Tuhan yang
lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi
keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih dan rela
menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang lebih universal, Tuhan
Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama mati dan Putera
menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih
ketiga dari kematian Tuhan berkaitan
dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi
Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan
besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk membayar
hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi kemudian, Tuhan
mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya melainkan demi
manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta, kita
menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut dan
menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri. Demikianlah kemudian Nietzsche
menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita.
Kebenaran adalah semacam kesalahan , dimana tanpa kebenaran
spesies makhluk hidup tentu tidak dapat hidup (Nietzsche, 1968: 493).
Sumber : Website, Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar