NUR CHOLIFAH (140531100097)
ILMU KOMUNIKASI - C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
1. Jacques Derrida dianggap sebagai
pendiri ilmu Dekonstruktivisme, yaitu sebuah ajaran yang menyatakan bahwa
semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah
bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia
di luar bahasa. Jacques Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting di abad
ke 20 dan ke 21. Pada awalnya
strategi dekonstruksi ini untuk mencegah totaliterisme (paham yang dianut
oleh pemerintahan totaliter dan praktik-praktik yang dilaksanakan) pada segala sistem, namun akhirnya jatuh kedalam
relativisme (pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang
serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas) dan nihilism
(paham aliran filsafat sosial yang tidak mengakui nilai-nilai kesusilaan,
kemanusiaan, keindahan, dsb, juga segala bentuk kekuasaan pemerintahan, semua
orang berhak mengikuti kemauannya sendiri).
Istilah dekonstruksi untuk pertama kalinya muncul dalam
tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi
metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk
melepaskan teks dari konteksnya. Satu term (istilah) tertentu kita lepaskan
dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida
sebut sebagai logosentrisme. Teori ini mengkritik keseluruhan dari filsafat
barat. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan
(spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya
hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau
kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini
membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran”
ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan
begitu seterusnya.
2.
Pada tahun 1987, Derrida
mengeluarkan kumpulan esainya dalam teks yang berjudul Pshyche. Dasar dari risalat ini adalah untuk
menyatakan seberapa besar kemungkinan untuk membicarakan (yang Lain). Menurut
Derrida, sikap yang tepat terhadap (yang Lain) adalah menunggu, menginginkan,
dan bersiap bagi masa depan, yaitu dari mana (yang lain) itu berasal (Yang
Lain) tidak berasal dari masa kini. Untuk menjelaskan mengenai sikap menunggu
dan bersiap, Derrida kembali mengutip dari tulisan sebelumnya yang berjudul structure dan Sign
and Play. (Yang Lain) itu datang sebagai bencana, tidak peduli baik atau
buruk, kedatangannya akan terlalu asing untuk dihasilkan oleh realita.
Contoh : saya menginginkan berlanjut
S2 di Harvard University jika saya sudah lulus dari Universitas Trunojoyo
Madura ini. Saya menginginkan kuliah disana (Harvard University), saya menunggu
saat itu tiba. selagi saya menunggu, saya menyiapkan diri saya sebaik mungkin
agar saya layak untuk kuliah disana, dengan cara saya akan terus belajar supaya
saya lulus dari sini (UTM) dengan nilai yang sesuai dengan target saya, dan
saya juga terus belajar supaya nilai TOEFL dan IELST saya cukup saya gunakan
untuk melanjutkan kuliah di Harvard University, saya juga banyak belajar
berorganisasi supaya saya memiliki bekal keorganisasian yang membanggakan. Kesimpulannya,
Saya menginginkan suatu hal (berlanjut S2 di Harvard University), saya menunggu
saat yang tepat, dan saya menyiapkan diri saya untuk menyambut hal tersebut
yaitu dengan berbagai cara (belajar banyak hal dengan sebaik mungkin). Saya
akan berjuang sebaik mungkin agar diri saya pantas berkuliah disana. Jika usaha
saya sudah matang keseluruhan, maka saya pun telah bersiap untuk menerima
hasilnya nanti. Saya tak peduli baik atau buruk hasil tersebut karena saya
telah melakukan keseluruhannya dengan sangat baik sesuai dengan kemampuan saya
(maksimal).
3. Kemudian, Derrida (dalam karyanya Margin of
Philosophy) mengatakan bahwa “dibalik teks filosofis yang terdapat bukanlah
kekosongan melainkan sebuah teks lain, suatu jaringan kekuatan-kekuatan yang
pusat referensinya tak jelas”.
4. Dalam
karya yang lain “positions” secara skematik teori dekonstruksi
Derrida terdiri dari 3 langkah, pertama
mengidentifikasi hieraki (urutan tingkatan) oposisi dalam teks yang biasanya
terdapat peristilahan yang diistimewakan secara sistematik (susunan). Kedua oposisi-oposisi tersebut dibalik
dengan menunjukan adanya saling ketergantungan diantara yang saling berlawanan
itu sekaligus mengusulkan privilese (hak istimewa) secara terbalik. Ketiga memperkenalkan sebuah istilah
atau gagasan baru yang tidak bisa dimasukan dalam katagori lama.
5. Bila bahasa dilihat secara
struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem
perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah
oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda,
ujaran/tulisan, langue/parole.
Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring
dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan,
transendental/ imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/
sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu
dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia
dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan
dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran)
dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi
dari lisan.
Derrida,
seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar
kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat
Barat tersebut. Dekonstruksi Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah
simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis
–sebagai sekadar representasi dari ujaran– hanyalah turunan kedua, atau sekadar
simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut.
Sumber : Website, Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar