Translate

Kamis, 11 Mei 2017

Tuhan, Ampuni Kesepianku

Aku selalu mengucapkan selamat pagi pada mentari,
Aku selalu mengucapkan selamat siang pada terik yang menyengat,
Aku selalu mengucapkan selamat sore pada senja,
Aku selalu mengucapkan selamat malam pada bulan,
Aku dibingungkan oleh mereka, karena mereka hanya diam lalu tersenyum tipis padaku.
Aku tersadar, manakala aku ini sangat kesepian hanya merekalah yang setia menatapku dari kejauhan,
Sangat sepi, hingga aku bermohon pada Tuhan, "Yaa Allah.. ampunilah kesepianku".
Sama halnya dengan malam ini,
Aku tak sanggup menahan rasa sepiku, dan akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ruangan 3x3 meter ini.
Hanya membawa sebuah ponsel dan motor-lama yang kuberi sedikit hiasan agar terlihat sedikit lebih elok, roda motor-lamaku mengantarkanku pada sebuah bangunan kos yang letaknya sedikit agak jauh dari jalan raya, cukup terasingkan dari keramaian, kos temanku.
Gerbang besi besar yang dicat hitam-pekat itu tertutup rapat. Ku teriak nama temanku keras keras. Ia tak kunjung menampakkan jidat-jenongnya, kumatikan mesin motorku, niatku membuka gerbang dengan tanganku lalu masuk ke kosnya, tetiba temanku muncul, aku sedikit kaget.
Singkat cerita ia menerimaku bermalam di tempatnya.
Jangan pernah bertanya seberapa kesepian aku hingga sebebas ini aku keluar di malam hari. Emm.. lebih tepatnya memberanikan diri untuk keluar seorang diri di malam hari di pulau yang terkenal sebagai pulau zona merah ini.
Temanku tak memberiku satu pertanyaanpun, sepertinya ia sangat paham dengan rasa sepi yang membunuhku diam-diam.
Bagaimana ia tahu? Jelas, karena beberapa kali ia datang ke tempat kosku dan yang ia temui hanya diriku seorang, iya, hanya diriku dalam ruangan berukuran sedang dan bercat krem terang dengan dua bilah jendela, satu di samping daun pintu, satu lagi di atas, untuk keluar-masuk angin. Ruangan 3x3 itu terlihat sangat luas, iya, karena hanya ada aku di dalamnya. Bukan lagi sepi, sunyi pun. Hanya ada hembusan nafasku dan suara keluar-masuk angin. Jangan kau bayangkan hal ini, sepi akan merasuki jiwamu pula.
"Sudah makan?", tanyanya singkat.
"Sudah. Sore tadi", jawabku dengan tersenyum.
"Aku mau keluar sebentar, hendak menjemput seorang temanku, di pelabuhan. Kau tunggu disini atau mau ikut denganku?", lanjutnya.
"Hmm.. pergilah. Aku disini saja. Lekas kembali, hati-hati di jalan, jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan", jawabku.
Temanku pergi.
Kembali hanya ada aku dan diriku, terdiam, di ruangan 2x3 meter ini.
Sedikit berbeda dari kamar kosku, disini tak terlalu sepi, aku ditemani bunyi baling-baling kipas angin milik temanku, berisik.
Tak masalah, setidaknya suasana akan menjadi berbeda.
Kurebahkan punggungku di atas tempat tidur temanku, dipan kayu dengan kasur disini memang tidak seempuk spring-bed di kosku, tak masalah, setidaknya penyakit kesepianku disini takkan separah bila aku disana seorangdiri.
Jari-jariku merogoh ponsel dalam kantong celana levis hitam dengan model pencil-pan tahun 2000'an ini, kudapati ponselku.
Sudah terhitung empat puluh delapan jam ponselku tidak tersambung dengan jaringan internet. Iya, aku kehabisan kuota-data, hendak membeli pun aku harus bertengkar-hebat dulu dengan dompetku. Kufikir hal itu akan menyiksa, baiklah, aku mengalah dengan dompetku. Setidaknya di dalam dompetku aku bisa menentukan nasib perutku untuk dua atau tiga hari ke depan.
Kunyalakan layar ponselku dengan tombol satu kali klik di bagian kanan ponsel. Layar menyala, kuusap layar untuk membuka kunci, sama saja dengan ponsel-ponsel lainnya bukan? Berbeda? Iya. Berbeda. Karena ponselku tak ku setting password/sandi kunci, kau tahu alasannya? Iya. Pertama, karena aku pelupa. Kedua, karena isi ponselku ya begitu begitu saja, tak ada yang perlu ku atur sebagai privacy.
Layar ponsel terbuka, aku disapa oleh gambar wallpaper yang kubuat sendiri, sebuah kalimat dengan beberapa kata lalu terdapat beberapa jenis makanan lezat dibawahnya. Coba tebak!
Setiap kali aku melihat gambar wallpaper ponselku, tetiba hatiku menjerit "Sadar! Jangan terlalu banyak bermimpi, kau akan sulit terjaga". Mataku mengerjap seketika.
Aku hanya memutar-mutar ponsel, di tanganku, tak tahu hendak melakukan apalagi.
Kulihat jam di ponsel, temanku tak kunjung kembali, aku mulai diserang rasa bosan.
Kubuka aplikasi pemutar-musik, kuputar beberapa lagu kesukaanku, sembari menunggu temanku kembali.
Lagu pertama sedang berputar, Living A Lie, dari band beraliran Gothic-Metal dari Limburg (Belanda), cukup menenangkan jiwaku saat itu. Epica. Favoritku sejak lima tahun terakhir ini.
Beberapa laki-laki yang mengenalku akan familiar dengan genre musik kesukaanku. Beberapa perempuan yang mengenalku akan sangat sibuk mengkritik lagu-lagu yang kudengarkan setiap saat. Tak masalah, isi perutku bukan dari mereka, hanya kuiyakan saja apapun yang mereka nilai dariku tanpa aku pedulikan lebih jauh lagi.
Mungkin ada yang salah dengan diriku, kesepian, alunan musik, kesendirian, dendam pada diri sendiri, marah pada sendiri, tak bisa berdamai dengan diri sendiri, apa lagi?
Permohonanku mungkin akan terbilang banyak jika aku menambahi "Lekas pertemukan aku dengan laki-laki yang sanggup mengimamiku dunia-akhirat Yaa Allah" setelah permohonan "Ampuni kesepianku Yaa Allah" ?
Angin yang sedang keluar-masuk ruangan hanya menertawai kebodohanku, "Doamu terlalu panjang, permintaanmu terlalu berlebihan, selesaikan dulu urusan damai dengan dirimu, barulah membuat permohonan pada Tuhan", kata angin. Aku hendak menjawab namun angin meninggalkanku dengan terburu, seakan sengaja membuatku memikirkan perkataannya itu.
Iya. Aku belum bisa berdamai dengan diriku. Aku lelah, kuletakkan tanganku diatas kepala, menarik nafas dalam-dalam, menghembuskan, dan telingaku sedang asyik berteman dengan alunan nada dan irama lagu kedua, ketiga, dan seterusnya. Aku tertidur dengan rasa sepi dan bosan malam itu.

Selasa, 02 Mei 2017

Tentang Entah

Tak salah apa yang orang-orang katakan,
"Lakukan sesuatu yang baik, jika menginginkan hasil yang baik pula."
Bagaimana bisa, seorang bujang yang sedang duduk termenung sendiri dihadapan kopi pahitnya malah bingung memikirkan kalimat itu.
Ia sadar diri bahwa ia belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri, alasannya pun kuat, namun sedikit lucu.
Bujang itu masih sibuk dengan pikirannya yang berputar-putar berlawanan dengan arah jarum jam.
Ia akhirnya mengambil secarik kertas, menyobeknya dengan arah vertikal, mudah. Lalu ia mengambil kertas lainnya, menyobeknya dengan arah horizontal, mudah. Kembali ia mengambil kertas, menyobeknya menjadi tiga bagian, sedikit rumit untuk membuat sobekan yang sama besar.
Ia menyeruput kopinya, dan tatapannya masih menatap kertas itu. Memikirkan entah.
Matanya mulai berkaca-kaca, masih memikirkan entah.
Ia mengusap keningnya dengan sedikit memberi pijatan menenangkan. Ia mencoba memikirkan satu cara agar ia mampu memaafkan dirinya sendiri. Persoalan entah.
Malam itu langit sangat cerah, bintang bertaburan, bulan sangat elok menawan. Matanya makin berkaca-kaca, hendak meneteskan butiran bening yang melegakan.
Bujang itu seorang wanita, duduk termenung sambil membohongi dirinya, mengatakan bahwa ia takkan menangis untuk kesekian kali, tapi sayang ia tak pandai berbohong, sayang sekali.
Awan menutupi bintang-bintang cantik di langit cerah, seakan membiarkan wanita itu menangis. Lagi.
Belasan menit berlalu, ia kebingungan mencari sesuatu. Dicarilah sekelilingnya, ah iya, selembar tissue, didapatkannya, cukup.
Ia memutar cangkir kopinya, mengarahkan gagang cangkir tepat di depan tangannya, iya, untuk memudahkan pegangannya.
Ia sangat hancur, terhadap entah. Mulutnya bisu, sedari kemarin sore. Dipaksa membuka mulut untuk sesuap nasipun ia tak terbuka. Malam itu lambungnya kacau, ingin sesuatu untuk diremas. Tapi ia abai. Kembali ia meneguk kopi.
Suasana hatinya tak menentu, hari ini ia berbohong untuk tidak menangis, kemarin ia berbohong untuk tersenyum, semuanya gagal sia-sia. Kembali ia memutar cangkir kopinya, mengarah kepada entah. Ia menengok sebelahnya, berharap si dia duduk menemani kopi malamnya. Kembali ia terdiam.
Pikirannya kacau, sepertinya ia sakit. Diberikan obat apa pun tak kunjung membaik. Maunya hanya satu, berdamai dengan hatinya, dengan dirinya sendiri. Namun ia tak bisa. Terus memberi hukuman berat kepada dirinya sendiri, bertahun-tahun. Ia lupa kata cukup.
Beberapa helai rambutnya menutupi mata, lalu ia menyibakkan di balik daun telinga.
Diraihnya sebuah ponsel dan headphone keluaran terbaru tahun ini, ditancapkannya port headphone pada lubang ponsel pintar miliknya. Jarinya mengetuk layar ponsel, memutar sebuah lagu tentang putus asa dan kehilangan. Ia memikirkan entah. Jari yang lain menuju tombol volume. Musik itu memutar dengan keras. Berharap isi otaknya hancur lebur malam itu.
Tetiba air matanya jatuh kembali. Ia acuh.
Sampai malam ini wanita itu tetap menangis dan memutar sebuah lagu berkali-kali, ia belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri.