Translate

Kamis, 22 November 2018

Apa jadinya

Pagi itu seperti biasa aku dan beberapa orang temanku sedang menunggu dosen untuk kelas Integrated Marketting Communication atau IMC.
[ IMC merupakan sebuah proses strategi bisnis dalam mengelola hubungan dengan konsumen yang intinya untuk menggerakkan brand value ]
Kelas IMC diampuh oleh dosen yang sangat komprehen di bidang itu, sebagian dari kami memanggilnya "bunda Dewi", sebagian yang lainnya memanggil "bu Dewi".

Pagi itu beliau mengirimkan pesan singkat padaku melalui media sosial yang sedang masyarakat gandrungi, WhatsApp. Begini bunyi pesannya :
"Nduk.. sampaikan pada teman-teman pagi ini saya sedikit terlambat karena Ara rewel".
Ara adalah anak kedua bu Dewi dan pak Heri. Ara memiliki kakak perempuan bernama Malya. Mereka berdua cantik, mewarisi kecantikan bundanya. Malya duduk di bangku Sekolah Dasar, sedangkan Ara masih duduk di bangku TK. Itu yang kutahu tentang mereka.
Kujawab pesan singkat bu Dewi :
"Baik bu, segera saya sampaikan pada teman-teman".
Dijawab oleh beliau "Terima Kasih, Nduk.. ini saya sedang siap-siap mau berangkat ke kampus".
Beliau sangat biasa memanggilku "Nduk", itu adalah sapaan untuk anak perempuan di Jawa. Terlihat lebih akrab dengan panggilan itu daripada memanggil nama.

Sambil menunggu beliau, aku dan teman-teman menyempatkan diri untuk mengisi perut. Pergilah kami ke KopMa (Koperasi Mahasiswa).
Kupesan nasi dengan soto ayam dan secangkir kopi hitam dengan sedikit gula favoritku. Aku duduk di bagian pojok KopMa bersama dengan ketiga orang temanku, Devia, Rani, dan Shofi. Makanan yang kami pesan belum disajikan, kuteringat bahwa semalam aku memesan jilbab 'Bella Square' (lihatlah di Internet) pada sebuah toko online yang kutahu bahwa pemiliknya adalah adik tingkatku sendiri.
Kukirimkan pesan singkat padanya :
"Dik, bisa diantar jilbabnya sekarang, di Kopma, sekalian kubayar semuanya".
Beberapa detik kemudian ia membalas : "Iya. Saya antar sekarang mbak".
Rani, "He cuk, iku mantan'e mas hery. Kon mesen jilbab nag dee ta?", celetuknya.
(Itu mantan pacar mas hery. Kamu pesan jilbab ke dia?)
"Iyo, pingin nyobak yaopo kualitas'e Bella Square. Aku durung duwe jilbab model ngene e".
(Iya, ingin coba bagaimana kualitasnya Bella Square. Aku belum punya jilbab model ini).
Devia, "Atimu gakpopo a pah ipah?"
(Hatimu tidak apa-apa?)
"Ya gakpopo, opo'o emang? Lapo? Kenopo?"
(Ya tidak apa-apa, apa memang? Ngapain? Mengapa?)
Shofi, "wes rek, iku loh dee teko".
(Sudah teman-teman, itu dia datang).

Pagi itu adalah kali pertama aku bertemu langsung dengan seseorang di masa lalu kekasih hatiku.
"Ini mbak pesanannya, 5 jilbab Bella Square. Pakai harga promo ya mbak, jadi totalnya 100 ribu.", kata dia.
Aku mengeluarkan dompet hitam dengan tiga lipatan, milikku, sudah usang, kubeli sekitar 7 tahun yang lalu. Isinya pun tak banyak, beberapa lembar rupiah, foto-foto berjajar rapi, dan kartu-kartu penting yang berukuran minimalis.
Kuambil selembar uang kertas senilai dengan yang ia katakan, 100 ribu. Kuberikan padanya.
Kubiarkan dompetku tergeletak di atas meja di depanku.
Tanpa permisi, ia mengambil dompetku, membuka, dan mengeluarkan beberapa foto. Kubiarkan, kuperhatikan raut wajahnya, ya! Terlihat seperti orang yang sangat sangat ingin tahu.

Sambil memegang foto kekasihku, ia melempar pertanyaan,
"Ini siapa mbak? Mbak kenal?", tanyanya.
"Orang yang paling kusayang. Kami berhubungan jarak jauh. Terasa dekat karena intens berkabar via media sosial.", jawabku.
"Oh, orang mana mbak dia?", tanyanya lagi.
"Mojoagung, jombang. Masih Jawa Timur kok.", jawabku santai sambil kusesap kopi hitam pesananku yang baru saja diantarkan penjual ke mejaku.
"Mbak sayang dia? Seberapa banyak?", tanyanya lagi.
"Aku tahu aku bukan perempuan yang sangat baik, tapi aku selalu memberinya apa yang terbaik versiku, apapun itu. Mengapa kamu bertanya begitu?", jawabku dengan rasa sedikit ingin mengujinya.
"Tidak apa-apa mbak, hanya sekadar bertanya. Apa dia cukup baik memperlakukan mbak?", tanyanya lagi.
"Dik, sangat mudah jika kita ingin diperlakukan baik/tidak baik oleh orang lain. Apa yang kita lakukan padanya, ia pun akan demikian pada kita. Aku pribadi sangat yakin, dia selalu memberi yang terbaik dalam versinya untukku. Dia sangat baik memperlakukanku.", jawabku mantap sambil menatap kedua bola matanya.
"Bagaimana jika orang lain merebutnya dari mbak?", tanyanya lugas.
"Aku akan mempertahankannya. Karena bagiku, cinta adalah memiliki. Boleh siapapun sebut diriku egois atau apapun, sangat boleh, karena aku HARUS memilikinya, sekarang dan seterusnya. Orang-orang berkata bahwa cinta adalah mengikhlaskan orang yang kita cintai bahagia, ya! Betul. Aku mengikhlaskan dia bahagia denganku, hanya denganku. Aku sangat yakin betapa dia menginginkan dan membutuhkan diriku. Hanya diriku. Tidak akan ada orang lain yang bisa 'merebut' Hery Amariansyah dari sisiku.", jawabku mantap.

Sambil sesekali menatapku, dia mengembalikan beberapa lembar foto yang sedari tadi ada di tangannya, menata rapi dalam dompetku.
Saat itu aku benar-benar berfikir, hal apa yang bisa membuat orang asing berani membuka isi dompetku. Mengeluarkannya, dan melempar pertanyaan-pertanyaan yang jelas ia sudah tau apa jawabannya. Ah iya, mungkin ia ingin tahu bagaimana aku, seberapa jauh aku serius dengan hubunganku, dan mungkin juga ia ingin memastikan keadaan hatinya. Iya! Hatinya! Apakah kau sudah baik-baik saja, Dik?
"Aku tahu, mengikhlaskan seseorang yang amat kau sayangi untuk berbahagia dengan yang lainnya adalah hal yang sulit, mungkin lebih dari kata sulit. Aku pribadi sangat menghargai usahamu untuk menjawab rasa keingintahuanmu. Aku sangat berharap setelah ini, kau akan baik-baik saja.", kataku sambil menatap kedua bola matanya lagi. Lebih dalam.
Dia pergi, menyalamiku, dan tanpa kata.

"Gendeng arek iki!"(Gila anak ini!), kata rani sambil memelukku. Sangat rapat.
Entah tetiba kedua kelopak mataku terasa hangat.
Kuperhatikan perempuan itu menaiki motornya, menoleh ke arahku mirip seperti moment-moment perpisahan ala sinetron di Televisi. Klise sekali.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku, aku menangis se-jadijadinya.
Devia dan Shofi meninggalkan makanan mereka dan menghampiriku. Mereka bertiga memelukku.
Saat itu aku sedang membayangkan apa jadinya jika aku harus mengikhlaskan seseorang yang amat kusayangi dengan seseorang yang lainnya. Aku membayangkan. Sialan, tetes-tetes bening ini bersumber dari mana, kutakbisa menghentikannya.

Suara jerit adikku membangunkanku.
Aku terbangun, dan mencari-cari dimana ponselku.
"Selamat pagi sayang", kubaca, kubalas, sambil kuusap air mata yang tersisa.
Ah sudah setengah siang rupanya.
Selamat hari jumat semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar