Translate

Sabtu, 04 April 2015

"Teori-Teori Sosial" (Friedrich Nietzsche)

       NUR CHOLIFAH (140531100097)
       ILMU KOMUNIKASI - C
       FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
       UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
           




1.      kenyataan itu adalah apa yang nyata yang dapat ditangkap subjek. Objek atau benda itulah kenyataannya. Kenyataan adalah apa yang ada di dunia ini, yang nyata, faktual, yang dapat ditangkap subjek. Konsep ontologi Friedrich Nietzsche mempunyai implikasi dalam ajaran tentang manusia. Manusia untuk menjadi manusia menghadirkan diri lewat budaya. Pandangan tentang manusia dapat dikatakan cenderung ke monisme, yaitu pandangan bahwa materi itu satuan tunggal. dimana hakikat manusia itu adalah tubuhnya. Yang dipandang manusia itu adalah yang bereksistensi, sedangkan eksistensi itu terjadi jika ada tubuh. Hal ini sangat jelas diungkapkan Zarathustra :

Aku adalah tubuh dan “jiwa” demikian dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak?
Tapi mereka telah bangun, dan mereka yang tahu berkata : “aku adalah tubuh seluruhnya. Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh” (Nietzsche, 1969: 146)

Tubuh adalah sebuah akal besar, kemajemukan yang bermakna satu, perang dan damai, kawanan domba sekaligus gembalanya.

“Akal kecilmu adalah alat dari tubuhmu itu, saudaraku, yang kau sebut “ruh” itu adalah alat dari tubuh. Sebuah alat dan mainan kecil dari akal besar”.

2.      Karya Der Wille zur Macht (The will to power) adalah magnum opus Nieetzsche. Inti semua ajarannya terdapat disini. Segala konsep dan masalah yang diperbncangkan selalu bermuara pada kehendak untuk berkuasa. Sebagai mana diungkapkan oleh Walter Kaufmann :

            Konsepsi kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma-nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan mengatakan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup. (Dalam karyanya kemudian ia menganggapnya telah menembus sampai pada kehendak tak hidup) (Kaufmann, 1967: 510)

3.      Nihilisme dipahami sebagai 'kedatangan kekal yang sama (atau dalam terminologi Nietzsche: 'die Ewige Wiederkehr des Gleichen') yang merupakan siklus berulang-ulang dalam kehidupan tanpa makna berarti di baliknya seperti datang dan perginya kegembiraan, duka, harapan, kenikmatan, kesakitan, ke-khilafan, dan seterusnya.

4.      Vitalisme dalam pengertian ini mengandung makna semangat hidup. Hidup itu sangat berharga. Kecintaan yang luar biasa terhadap hidup bukan berarti takut untuk mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak boleh menyerah. Manusia harus berani berkata ya untuk setiap tantangan dan bahaya. Dari tantangan dan bahaya inilah manusia akan menjadi besar.

            Manusia itu agung asal mau menjulangkan semangat hidup dan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk itu, manusia harus bebas dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai tradisional yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Cinta kehidupan berarti harus sanggup menangggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai, ia selalu dalam proses menjadi. Manusia adalah jembatan antara binatang dan manusia agung. Ke manapun ia menoleh, ia akan menatap ancaman dan bahaya (Fuad Hasan, 1989: 62)

5.      Pemikiran dasar Nietzsche mengenai Tuhan. Nietzsche memahami Tuhan seperti mimpi. Ketika kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada di dalam dunia nyata yang ternyata hanya mimpi. Seperti demikianlah mengenai Tuhan. Manusia tidak mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dengan kenyataan yang hanya merupakan bayang-bayang. Jika dicoba untuk mengartikannya, Nietzsche menganggap Tuhan hanya proyeksi dari keterbatasan manusia yang merindukan sebuah kekuatan yang tidak terbatas.

     Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yesus adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi. Tuhan perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir kembali menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang pertama.

     Yang kedua, kesadaran Yahudi  menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih dan rela menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang lebih universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih

     ketiga dari kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk membayar hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi kemudian, Tuhan mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya melainkan demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta, kita menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri. Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita.

Kebenaran adalah semacam kesalahan , dimana tanpa kebenaran spesies makhluk hidup tentu tidak dapat hidup (Nietzsche, 1968: 493).






Sumber : Website, Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar